Skip to main content

MENGINGAT IBU BANGSA

Oleh Luthfi Eddyono


Diilhami oleh perjuangan para pahlawan perempuan abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said, dll., berbagai organisasi perempuan telah ada sejak tahun 1912.

Organisasi-organisasi tersebut antara lain Poetri Merdika (1912), Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915); Percintaan Ibu kepada Anak Temurun (Menado, 1917); Purborini (Tegal, 1917); Aisyiyah (1917); Wanito Susilo (Pemalang, 1919); Putri Budi Sejati (Surabaya, 1919); Wanito Oetomo dan Wanito Moelyo (Yogyakarta, 1920); Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920); Wanita Katholik (Yogyakarta, 1924), dll.

Pada tanggal 22 – 25 Desember 1928 sebagian organisasi-organisasi perempuan tersebut mengadakan kongres di Yogyakarta dan membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Hingga saat ini Kowani masih tetap eksis menjadi organisasi federasi dari 78 organisasi wanita tingkat nasional yang beranggotakan sekitar 30 juta orang dengan 12 bidang kerja.

Kongres Perempuan pertama telah berhasil merumuskan beberapa tuntutan yang penting bagi kaum perempuan Indonesia, seperti: penentangan terhadap perkawinan anak-anak dan kawin paksa; tuntutan akan syarat-syarat perceraian yang menguntungkan pihak perempuan; sokongan pemerintah untuk para janda dan anak yatim; dan beasiswa untuk anak perempuan dan sekolah-sekolah perempuan. Hal ini menunjukkan kesungguhan kaum perempuan sendiri untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya yang termarjinalkan.

Selain itu salah satu hal perlu kita cermati adalah hasil keputusan kongres tersebut untuk mendirikan badan permufakatan bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang bertujuan menjadi pertalian segala perhimpunan perempuan Indonesia dan memperbaiki nasib dan derajat perempuan Indonesia.

Untuk mencapai maksud itu, terdapat rekomendasi-rekomendasi yang sangat maju, seperti: membuat kongres perempuan tiap tahun; mengupayakan beasiswa bagi anak-anak perempuan; menerbitkan surat kabar yang menjadi media perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak, kewajiban, kebutuhan, dan kemajuan kaum perempuan; mengirimkan mosi kepada pemerintah untuk memperbanyak sekolah bagi anak perempuan; dan menyediakan dana bagi para janda dan anak yatim.

Pada tahun 1930 kongres PPPI merekomendasikan berbagai kerja konkret yang lebih maju lagi, seperti menguatkan Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A), menyelidiki kondisi kesehatan perempuan dan kematian bayi di pedesaan, membuat propaganda tentang dampak buruk perkawinan dini bagi perempuan, mendirikan kantor penyuluh perburuhan, hak-hak perempuan dalam perkawinan, dan mempelajari hak pilih bagi kaum perempuan.

Semua rekomendasi ini dibuat oleh gerakan perempuan Indonesia 66 tahun lalu, bahkan kampanye anti perdagangan perempuan dan anak yang sekarang baru menjadi tren di kalangan organisasi perempuan, sudah konkret menjadi agenda gerakan perempuan pada masa lalu.

Menyadari bahwa kekuatan perjuangan terletak pada kesatuan dan persatuan, maka para pemimpin perempuan mengambil prakarsa untuk menyelenggarakan Kongres II Perempoean Indonesia pada tahun 1935 di Jakarta, yang antara lain mencetuskan bahwa fungsi utama perempuan Indonesia adalah sebagai Ibu Bangsa yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya.

Hal ini berarti muncul kesadaran yang luar biasa mengenai kehidupan berbangsa pada perempuan. Ibu bangsa mengandung arti bahwa perempuan bukan hanya punya peran domestik dan sosial, tetapi perempuan punya peran politik, yakni perempuan harus bertanggung jawab menjaga kelestarian masyarakat bangsanya, kesejahteraannya, kebudayaannya, kehidupan spiritualnya, dan rasa kemanusiaannya.

Untuk itu pada Kongres III Perempoean di Bandung, tanggal 22 Desember 1938, salah satu keputusan pentingnya adalah menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu untuk memperingati diselenggarakannya Kongres Perempoean pertama di Yogyakarta. Hal ini ditegaskan kembali oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 Tahun 1959 tentang Hari Nasional yang menyatakan tanggal 22 Desember merupakan Hari Ibu untuk diperingati secara nasional, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Berbeda dengan makna Mother’s Day, yang dirayakan di mancanegara, Hari Ibu oleh Bangsa Indonesia diperingati untuk menghargai jasa-jasa perempuan sebagai seorang ibu serta jasa perempuan secara menyeluruh, baik sebagai ibu dan isteri maupun sebagai warga negara. Makna Hari Ibu sebagai sebagai Hari Kebangkitan, serta persatuan dan kesatuan perjuangan kaum perempuan yang tidak terpisahkan dari kebangkitan dan perjuangan bangsa.

Sudah 78 tahun berlalu semenjak diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia pertama yang saat ini kita peringati sebagai Hari Ibu. Gerakan perjuangan masa lalu yang menyentuh kepentingan dan kemajuan konkret kaum perempuan bisa menjadi teladan bagi gerakan perempuan di masa kini.

Ada banyak kepentingan perempuan yang telah dicapai, namun masih sangat banyak yang belum terpenuhi. Tuntutan-tuntutan tersebut masih aktual sampai sekarang karena sampai saat ini banyak kaum perempuan Indonesia yang belum mendapatkan hak-haknya.

Saat ini berbagai masalah yang dihadapi para ibu dan perempuan hampir tidak berubah dengan permasalahan yang terjadi 78 tahun yang lalu. Meningkatnya jumlah keluarga miskin dan angka putus sekolah di berbagai tingkat pendidikan, menurunnya kesempatan kerja dan maraknya konflik sosial di berbagai daerah yang muncul sebagai dampak krisis sangat potensial mendorong timbulnya pelanggaran pada hak-hak perempuan dan anak. Hal ini diperparah oleh kenyataan melemahnya peranan lembaga keluarga dan solidaritas antar warga masyarakat untuk melaksanakan fungsi pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan psikologis sekaligus kontrol terhadap para anggotanya.

Padahal, Pancasila sebagai falsafah negara yang melandasi UUD 1945 sebagaimana telah diamandemen sejak tahun 1999, telah menjamin warga negaranya untuk menikmati hak asasinya, sekaligus memberikan perlindungan hukum. Hat tersebut diamanatkan dan tercantum dalam bab khusus, Bab XA tentang HAM.

Selain itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang berdaulat dalam komunitas internasional, merupakan negara yang mengikuti isu-isu dunia yang terjadi melalui proses globalisasi baik di bidang politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya dan bidang lainnya dengan mengutamakan kepentingan nasionalnya. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya komitmen yang dibuat oleh negara Indonesia dalam bentuk ratifikasi konvensi intemasional.

Konvensi terkait dengan kesejahteraan perempuan dan anak yang telah diratifikasi diantaranya adalah: Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women - CEDAW) dengan UU No. 7 Tahun 1984, Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Pengahapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (ILO Convention No. 182 concerning the Prohibition and Immidiate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour) dengan UU No. 1 Tahun 2000, Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child) dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang semuanya berisikan kesediaan Indonesia untuk mengambil langkah-langkah taktis yang diperlukan untuk menanggulangi berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak secara nasional, bilateral dan multilateral.

Berpegang pada hal itu, pemerintah bersama masyarakat teruslah berusaha menciptakan suasana yang kondusif bagi perbaikan kesejahteraan warga, khususnya bagi perempuan, para ibu, dan anak-anak yang akan menjadi penerus bangsa. Sesuai dengan corak dan sifat kehidupan masyarakat Indonesia yang bercirikan kegotong-royongan maka potensi masyarakat yang demikian dapat didayagunakan di dalam rangka untuk upaya peningkatan kehidupan dan kesejahteraan yang lebih layak.

Dalam memperingati Hari Ibu, selain kita semua meningkatkan pemahaman mengenai kesetaraan dan keadilan jender, lebih luas lagi, diharapkan kita semua dapat memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan jender, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pemahaman kesetaraan dan keadilan jender secara sederhana dapat ditunjukkan melalui sikap dan perilaku serta kebijakan yang memberi hak dan peluang yang sama kepada kaum perempuan untuk melaksanakan tugas kehidupannya sesuai potensi, minat, dan bakatnya; baik di ruang domestik maupun di ruang publik. Perempuan mempunyai hak yang sama seperti halnya kaum laki-laki untuk maju dan berkembang. Seiring dengan itu juga punya hak untuk berkiprah di berbagai ranah pekerjaan, pengabdian, dan profesi, termasuk dalam cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...