Skip to main content

Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia

Oleh Luthfi Eddyono


Kecuali beberapa negara kota seperti Singapura dan Hongkong, hampir tak ada satu negara di dunia yang mengandalkan pertumbuhannya tanpa membenahi sektor pertanian. Demikian juga dengan Indonesia pada awalnya.

Pada Pelita I, II, III sektor pertanian menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi nasional. Istilah revolusi hijau (green revolution) dianggap pantas disandang oleh Indonesia saat itu. Mulai tahun 1984 negara kita dapat mencapai swasembada beras, padahal sebelumnya termasuk salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia.

Namun nampaknya bersama dengan keberhasilan pembangunan pertanian itu tekanan dan arah pembangunan mulai bergeser ke sektor industri. Kebijaksanaan dan reformasi ekonomi seperti terwujud dalam alokasi dana, pembangunan jaringan infrastruktur dan sarana pendukung lainnya, peningkatan sumber daya manusia, sampai pada tindakan proteksi secara langsung bepihak dan mendukung pada perkembangan sektor industri.

Sektor industri menjadi “anak emas” politik ekonomi nasional dan dianggap sebagai andalan dalam memacu pertumbuhan ekonomi, meskipun dalam perencanaan ekonomi di atas kertas sektor pertanian masih dinyatakan sebagai sektor ekonomi yang juga perlu terus dikembangkan.

GBHN tetap menyebutkan bahwa pembangunan industri dan pertanian harus berada dalam keseimbangan dan saling mendukung. Tetapi nyatanya konsep pembangunan yang dijalankan cenderung memiliki sifat yang berlawanan, dalam arti bila salah satu sektor ekonomi didorong untuk maju. Maka sebaliknya sektor yang lain menjadi mundur, bukannya ikut terdorong untuk menjadi berkembang. Perkembangan sektor industri (perkotaan) ternyata sekaligus diikuti dengan kondisi stagnasi atau mengakibatkan mundurnya sektor pertanian di pedesaan.

Permasalahan-permasalahan yang ada dapat menunjukkan adanya bagian dari agenda politik ekonomi pertanian yang tidak sesuai. Dan perlu perubahan komprehensif dan mendasar dengan segera, bila tidak maka sektor pertanian akan semakin mundur dan para petani yang menjadi korban akan kian bertambah.

Celah keluar dalam permasalahan tersebut ada pada bagaimana pembangunan sektor industri dengan sektor pertanian tidak saling berlawanan tetapi memperlihatkan adanya hubungan mutualis-simbiotis. Kebijakan-kebijakan yang merumuskan keseimbangan itu mutlak dibutuhkan. Regulasi-regulasi untuk menutupi kelemahan-kelemahan sektor pertanian perlu dibuat dengan alur yang sesuai dengan keinginan untuk memajukan sektor industri.

Hal-hal yang perlu mendapat perhatian antara lain: bagaimana supaya pengetahuan dan ketrampilan petani meningkat serta dibantu dengan introduksi teknologi perangkat keras dan lunak yang dapat meningkatkan mutu produk-produk pertanian, perlunya adanya kebijakan-kebijakan dalam tata niaga yang artinya meniadakan monopoli dan mengeliminasi peran bandar dalam pemasaran, dan juga tentang kemudahan-kemudahan dalam memperoleh kredit, memacu penelitian dan pengembangan teknologi untuk memperbaiki kualitas produk, serta membantu perluasan jaringan pemasaran.

Yang terpenting sebenarmya adalah niatan baik dari pemerintah untuk lebih memfokuskan pembangunan di bidang pertanian. Seperti yang dkemukakan di atas bahwa hampir tak ada satu negara di dunia yang mengandalkan pertumbuhannya tanpa membenahi sektor pertanian. Hal ini membuktikan bahwa sektor ini adalah hal yang terpenting dan terutama dalam pembangunan.

Ketahanan pangan adalah faktor mutlak bagi Indonesia, apalagi ciri dan kondisi yang agraris sangat mendukung niat untuk memiliki ketahanan pangan tersebut. Mudah-mudahan dengan adanya fokus yang lebih di bidang pertanian ini dapat membawa Indonesia menuju ke arah yang lebih baik.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan