Oleh Luthfi Eddyono
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9 sepanjang frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008) terkait pengaturan tentang partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang berhak mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional. Hal tersebut disampaikan dalam sidang pengucapan putusan perkara 56/PUU-VI/2008, Selasa, (17/2/2009) di Ruang Sidang MK.
Perkara tersebut diajukan Fadjroel Rachman, Mariana, dan Bob Febrian yang menganggap tata cara pengusulan dan pendaftaran pasangan calon yang dilakukan partai politik menghalangi dan menutup hak konstitusional warga negara untuk memilih dan menjadi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden secara independen dan langsung, tanpa melalui partai politik.
Menurut MK, kehendak awal (original intent) pembuat UUD 1945 dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 adalah “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Berdasarkan original intent tersebut, UUD 1945 hanya mengenal adanya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, sehingga secara umum UU 42/2008 hanya merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”.
Dengan demikian, pengaturan tentang partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang berhak mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008, merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menetapkan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Dengan kata lain, bagi MK, konstruksi yang dibangun dalam konstitusi, bahwa pengusulan Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik mencerminkan bahwa sistem politik yang dibangun mengacu pada sistem komunal/kolegial, bukan berlandaskan pada sistem individual (perseorangan).
MK berpendapat, pelaksanaan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut tidaklah melanggar hak seseorang “untuk memilih dan dipilih”. Dalam pelaksanaan Pemilu maka setiap orang mempunyai hak dan dijamin untuk melaksanakan kedaulatannya tersebut untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, namun demikian untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden terdapat syarat-syarat yang dimuat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU 42/2008 a quo. Dengan demikian pembatasan dalam Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008 tidaklah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan bukanlah merupakan pengaturan yang diskriminatif. Apalagi jika dilihat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa kedaulatan rakyat itu harus dilaksanakan menurut UUD 1945.
Diberikannya hak konstitusional untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kepada partai politik oleh UUD 1945, menurut MK, bukanlah berarti hilangnya hak konstitusional warga negara untuk menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden karena hal itu dijamin oleh UUD 1945, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
“Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9 sepanjang frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan,“ tegas Ketua MK, Mahfud MD, membacakan Konklusi Putusan.
Terhadap putusan tersebut, Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Abdul Mukthie berpendapat calon perseorangan perlu mendapatkan ruang dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, namun secara realistis tidak mungkin untuk Pemilu 2009 yang sudah sangat dekat waktunya.
“Barangkali pada Pemilu tahun 2014 atau 2019 dapat diwujudkan, sehingga menurut pendapat saya Pasal-pasal UU 42/2008 yang dimohonkan pengujian bersifat conditionally constitutional atau conditionally unconstitutional, dalam arti konstitusional atau tidak konstitusionalnya bersyarat, yaitu konstitusional apabila memberi ruang bagi calon perseorangan atau tidak konstitusional apabila tidak memberi ruang bagi calon perseorangan”, ujar Mukthie Fadjar.
Maruarar Siahaan berpendapat, seharusnya Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, jika ditafsirkan menutup jalur pengusulan secara perseorangan atau independen, di luar jalur pengusulan partai politik atau gabungan partai politik (conditionally unconstitutional).
“Pengesampingan hak-hak dasar warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden secara perseorangan atau independen, dengan pembatasan yang menjadi substansi Pasal 8 dan pasal-pasal terkait dalam UU 42/2008, tidak dapat dibenarkan karena tidak memenuhi asas proporsionalitas, yang menuntut keseimbangan tujuan dengan bobot hak dasar yang dilindungi dan dijamin dalam UUD 1945,” ungkap Maruarar.
Akan tetapi, Maruarar juga berpendapat bahwa pemperlakuan Calon Presiden dan Wakil Presiden secara perseorangan atau independen dalam Pemilu 2009 tidaklah rasional, karenanya harus diberi waktu penyesuaian sampai pemilihan umum berikut pada tahun 2014.
Senada dengan itu, Hakim Konstitusi Akil Mochtar berpendapat, Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008 adalah conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat yaitu dengan mempertimbangkan agenda nasional pelaksanaan Pilpres tahun 2009 yang sudah sangat dekat, maka pemberian ruang bagi Calon Presiden perseorangan harus diakomodir dalam UU 42/2008 dan dilaksanakan pada Pilpres tahun 2014.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9 sepanjang frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008) terkait pengaturan tentang partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang berhak mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional. Hal tersebut disampaikan dalam sidang pengucapan putusan perkara 56/PUU-VI/2008, Selasa, (17/2/2009) di Ruang Sidang MK.
Perkara tersebut diajukan Fadjroel Rachman, Mariana, dan Bob Febrian yang menganggap tata cara pengusulan dan pendaftaran pasangan calon yang dilakukan partai politik menghalangi dan menutup hak konstitusional warga negara untuk memilih dan menjadi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden secara independen dan langsung, tanpa melalui partai politik.
Menurut MK, kehendak awal (original intent) pembuat UUD 1945 dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 adalah “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Berdasarkan original intent tersebut, UUD 1945 hanya mengenal adanya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, sehingga secara umum UU 42/2008 hanya merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”.
Dengan demikian, pengaturan tentang partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang berhak mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008, merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menetapkan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Dengan kata lain, bagi MK, konstruksi yang dibangun dalam konstitusi, bahwa pengusulan Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik mencerminkan bahwa sistem politik yang dibangun mengacu pada sistem komunal/kolegial, bukan berlandaskan pada sistem individual (perseorangan).
MK berpendapat, pelaksanaan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut tidaklah melanggar hak seseorang “untuk memilih dan dipilih”. Dalam pelaksanaan Pemilu maka setiap orang mempunyai hak dan dijamin untuk melaksanakan kedaulatannya tersebut untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, namun demikian untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden terdapat syarat-syarat yang dimuat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU 42/2008 a quo. Dengan demikian pembatasan dalam Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008 tidaklah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan bukanlah merupakan pengaturan yang diskriminatif. Apalagi jika dilihat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa kedaulatan rakyat itu harus dilaksanakan menurut UUD 1945.
Diberikannya hak konstitusional untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kepada partai politik oleh UUD 1945, menurut MK, bukanlah berarti hilangnya hak konstitusional warga negara untuk menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden karena hal itu dijamin oleh UUD 1945, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
“Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9 sepanjang frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara keseluruhan,“ tegas Ketua MK, Mahfud MD, membacakan Konklusi Putusan.
Terhadap putusan tersebut, Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Abdul Mukthie berpendapat calon perseorangan perlu mendapatkan ruang dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, namun secara realistis tidak mungkin untuk Pemilu 2009 yang sudah sangat dekat waktunya.
“Barangkali pada Pemilu tahun 2014 atau 2019 dapat diwujudkan, sehingga menurut pendapat saya Pasal-pasal UU 42/2008 yang dimohonkan pengujian bersifat conditionally constitutional atau conditionally unconstitutional, dalam arti konstitusional atau tidak konstitusionalnya bersyarat, yaitu konstitusional apabila memberi ruang bagi calon perseorangan atau tidak konstitusional apabila tidak memberi ruang bagi calon perseorangan”, ujar Mukthie Fadjar.
Maruarar Siahaan berpendapat, seharusnya Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, jika ditafsirkan menutup jalur pengusulan secara perseorangan atau independen, di luar jalur pengusulan partai politik atau gabungan partai politik (conditionally unconstitutional).
“Pengesampingan hak-hak dasar warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden secara perseorangan atau independen, dengan pembatasan yang menjadi substansi Pasal 8 dan pasal-pasal terkait dalam UU 42/2008, tidak dapat dibenarkan karena tidak memenuhi asas proporsionalitas, yang menuntut keseimbangan tujuan dengan bobot hak dasar yang dilindungi dan dijamin dalam UUD 1945,” ungkap Maruarar.
Akan tetapi, Maruarar juga berpendapat bahwa pemperlakuan Calon Presiden dan Wakil Presiden secara perseorangan atau independen dalam Pemilu 2009 tidaklah rasional, karenanya harus diberi waktu penyesuaian sampai pemilihan umum berikut pada tahun 2014.
Senada dengan itu, Hakim Konstitusi Akil Mochtar berpendapat, Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008 adalah conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat yaitu dengan mempertimbangkan agenda nasional pelaksanaan Pilpres tahun 2009 yang sudah sangat dekat, maka pemberian ruang bagi Calon Presiden perseorangan harus diakomodir dalam UU 42/2008 dan dilaksanakan pada Pilpres tahun 2014.
Comments