Skip to main content

Permohonan Fatahilah Hoed Tidak Dapat Diterima

Oleh Luthfi Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Fatahilah Hoed, S.H. untuk menguji Pasal 32 ayat (3) UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Hal itu disampaikan dalam sidang pleno pembacaan putusan terbuka untuk umum, Kamis (30/11/2006) di Ruang Sidang MK, Jalan Medan Merdeka barat No. 7, Jakarta Pusat.

Fatahilah menganggap hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dirugikan dengan adanya Pasal 32 ayat (3) UU Advokat yang berbunyi, “Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI)”.

Menurutnya, tugas dan kewenangan Organisasi Advokat yang tercantum pada Pasal 32 ayat (3) UU Advokat tersebut telah habis masa berlakunya sampai dengan Tahun 2005 [berdasarkan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat, “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk.”], sehingga setiap aktivitas yang dilaksanakan berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut termasuk pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia (wadah tunggal organisasi advokat) dan pemilihan pengurus perhimpunan melalui konsensus harus dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena tidak taat hukum.

Selain itu kondisi yang tidak pasti tersebut menimbulkan dampak bagi Fatahilah yang bermaksud menjadi advokat, yaitu penyelenggaraan pendidikan khusus profesi Advokat dan ujian Advokat menjadi tidak pasti serta belum adanya aturan baku tentang magang yang merupakan syarat menjadi advokat, karena kenyataannya delapan organisasi yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU Advokat masih tetap eksis

Menanggapi permohonan tersebut, MK menyatakan, walaupun Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, tetapi tidak ada kaitan antara hak konstitusional tersebut dengan berlakunya Pasal 32 ayat (3) UU Advokat dan juga tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon, baik secara aktual maupun potensial. Hal ini dikuatkan pula bila seandainya permohonan dikabulkan tidak akan ada pengaruh apa pun kepada Pemohon.

Oleh karena itu, pemohon dianggap tidak memenuhi syarat legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 32 ayat (3) UU Advokat terhadap UUD 1945, sehingga pokok perkara tidak perlu dipertimbangkan.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...