Skip to main content

Polemik Konstitusionalitas Alokasi Dana Pendidikan APBN 2007

Oleh Luthfi Eddyono

Undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara (UU APBN) terkait dengan alokasi dana pendidikan kembali dimohonkan untuk diuji di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah UU APBN 2005 dan UU APBN 2006 telah diuji, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), yang diwakili Ketua Umum Prof. DR. H. Mohamad Surya dan Ketua PB PGRI H.M. Rusli Yunus beserta Santi Suprihatin, Abdul Rosid, Sumarni, dan Zulkifli yang merupakan warga negara mengajukan permohonan pengujian UU No. 18 Tahun 2006 tentang APBN tahun anggaran 2007 (UU APBN 2007) terhadap UUD 1945.

Permohonan in terkait dengan sektor pendidikan dalam APBN 2007 yang hanya mendapatkan alokasi dana sebesar 11,8 % dari APBN 2007 atau hanya sekitar 90,1 triliun rupiah dari total 763,6 triliun rupiah. Menurut para pemohon, jumlah anggaran alokasi dana pendidian tersebut melanggar amanat UUD 1945 yang mengharuskan prioritas alokasi dana pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN ataupun APBD (Pasal 31 ayat (4) UUD 1945).

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara 026/PUU-IV/2006 tersebut (9/1/2007), para pemohon melalui kuasa hukum Andi M. Asrun menyampaikan pula permohonan agar MK mengeluarkan ketetapan agar pelaksanaan/berlakunya UU APBN 2007 dihentikan untuk sementara (provisionel handeling)/ditunda terlebih dahulu sampai ada Putusan dari Mahkamah Konstitusi.

Menanggapi hal itu, Hakim Konstitusi Prof. Abdul Mukhtie Fadjar, S.H., M.S. menjelaskan bahwa dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, MK tidak mengenal putusan provisi. Putusan provisi hanya dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). “Memang PMK (Peraturan Mahkamah Konstitusi) sedikit membuka peluang, tetapi hanya kalau terjadi pelanggaran atau kasus pidana di dalam penyusunan undang-undang,” ujarnya.

Selain itu Mukhtie juga menjelaskan konsekuensi bila UU APBN 2007 diberhentikan sementara maka akan berhenti seluruh roda kegiatan nasional yang bertumpu padanya. Hal ini karena lampiran atau APBN dan lampirannya ini tidak hanya menyangkut soal pendidikan. “Oleh karena itu saya meminta perhatian para pemohon untuk merenungkan kembali permintaan provisi,” katanya.

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. dalam kesempatan yang sama menyarankan agar permohonan ini juga menyinggung pada putusan MK terdahulu mengenai UU APBN yang terkait dengan alokasi dana pendidikan. “Ini sesuatu yang harus, karena justru dasar pikiran diajukannya permohonan ini adalah karena putusan terdahulu,” jelasnya.

Sidang ini ditutup dengan kesediaan para pemohon untuk memperbaiki permohonan dengan rentang waktu maksimum 14 hari.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...