Oleh Luthfi Eddyono
Gugatan David M.L. Tobing yang resah atas laporan peneliti IPB tentang adanya kandungan bakteri Enterobacter sakazakii pada beberapa susu formula tetapi tidak membuka hasil penelitiannya kepada masyarakat telah dimenangkan Mahkamah Agung. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada pengumuman laporan penelitian tersebut oleh IPB dan BPOM, serta turut tergugat Menteri Kesehatan.
Kejadian berbeda, pembuat undang-undang yaitu DPR dan presiden melalui revisi undang-undang Mahkamah Konstitusi mencoba memaksa Mahkamah Konstitusiuntuk tidak mengeluarkan putusan ultra petita (putusan hakim atas materi perkara yang tidak dituntut atau memutus melebihi dari pada yang diminta). Padahal Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya telah memberi tafsir, putusan ultra petita mutlak dilakukan karena pada dasarnya hukum acara yang berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat erga omnes, sehingga tidak tepat untuk melihatnya sebagai hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam konsep hukum perdata.
Kedua kejadian tersebut menunjukkan adanya departementalisme yang terjadi di negara kita.
Departementalisme, dalam berbagai literatur Amerika, dimaknai sebagai kekuasaan lembaga negara, khususnya lembaga politik (policy maker) untuk menginterpretasikan konstitusi. Istilah itu digunakan diawali munculnya inisiatif departemen pemerintahan Presiden Jefferson untuk berusaha menafsirkan konstitusi sesuai pandangan (kepentingan)-nya.
Pada praktiknya sekarang, berarti aktivitas yang melawan putusan pengadilan tertinggi atau yang membuat interpretasi konstitusi bersifat final dan mengikat dengan cara tidak melaksanakan putusan atau membuat undang-undang yang bertentangan dengan logika putusan.
Tentu saja hal demikian berarti menantang kewenangan lembaga peradilan (Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi) sebagai puncak peradilan atau penafsir konstitusi yang umumnya berlaku di negara-negara modern yang menganut supremasi hukum dan konstitusi (judicial supremacy).
Mengapa departementalisme muncul di Indonesia? Perlu diingat, dahulu sistem Indonesia hampir sama dengan sistem Inggris dimana hanya parlemen (lembaga politik) yang dapat menjadi penafsir utama konstitusi. MPR yang terdiri dari anggota DPR dan utusan baik golongan maupun daerah merupakan anggota-anggota yang berorientasi politik yang dapat menginterpretasikan konstitusi secara absolut dengan mandataris presiden. Supremasi demokrasi menjadi paham UUD 1945 sebelum perubahannya.
Reformasi konstitusi 1999-2002 mengubah sistem tersebut. Supremasi hukum ditegakkan dan dimunculkanlah sebuah Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi kemudian menjadi pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Hal itu juga membawa konsekuensi Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution). Vide Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK RI, 2008), halaman 39.
Kondisi demikian tentu saja menciptakan kerinduan lembaga politik atas hilangnya kekuasaan mereka yang sedemikian besar dalam menafsirkan konstitusi. Kondisi yang sama kerap terjadi di negara-negara yang mengalami reformasi konstitusi seperti Indonesia.
Kesepakatan umum yang tertuang dalam konstitusi tersebut ternyata masih belum mengubah cara pandang ketatanegaraan para politisi untuk tunduk kepada hukum dan keadilan. Upaya-upaya menenggelamkan atau menggelapkan hukum demi ambisi politik lah yang menciptakan departementalisme terjadi.
Hal ini tentu saja tidak bisa dibiarkan lebih lanjut, karena departementalisme dapat merusak tataran negara hukum atau paling tidak melemahkan ketaatan masyarakat pada hukum sehingga mengacaukan ketertiban umum.
Comments