Oleh Luthfi Eddyono
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, meskipun terjadi pelanggaran-pelanggaran administratif dan yang bersifat pidana dalam Pemilukada Kota Subulussalam, akan tetapi pelanggaran tersebut tidak terbukti bersifat terstruktur dan masif. Hal tersebut dinyatakan dalam sidang pengucapan putusan perkara 65/PHPU.D-VI/2008, Selasa, (18/1/2009) di Ruang Sidang MK.
Lebih lanjut menurut MK pula, pelanggaran tersebut berpengaruh terhadap perolehan suara akan tetapi tidak cukup untuk mengubah peringkat perolehan suara. Dengan demikian, MK menolak permohonan Asmauddin dan Salmaza (Pasangan Calon Nomor Urut 5) untuk seluruhnya.
Asmauddin dan Salmaza (Pemohon) mengajukan keberatan kepada MK atas Keputusan Komisi Independen Pemilu (KIP) Kota Subulussalam Nomor 35 Tahun 2008 bertanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota Terpilih dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Subulussalam tanggal 18 Desember 2008, yang menetapkan perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 sejumlah 14.922 suara sedang Pasangan Calon Nomor Urut 5 (Pemohon) hanya memperoleh 14.729 suara. Hasil tersebut ditolak oleh Pemohon karena ada dugaan penggelembungan 873 suara pemilih.
Terkait dengan permohonan tersebut, KIP Kota Subulussalam (Termohon) berpendapat, Pasal 74 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai lex specialis masih berlaku, sehingga sengketa menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA) dan bukan kewenangan MK. Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh berbunyi, ”Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh Pasangan Calon Kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah hasil pemilihan ditetapkan.”
Menurut MK, pendapat Termohon yang menyatakan bahwa Pasal 74 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebut sebagai lex specialis tidaklah tepat, karena meskipun Pemerintahan Aceh mengenal dan memuat hal-hal khusus yang bersifat istimewa, tetapi ketentuan tersebut bukan merupakan salah satu sifat keistimewaan. “Substansi pasal tersebut tidak berbeda dengan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebelum diubah,” ujar Hakim Konstitusi Akil Mochtar.
Lebih lanjut, jelas Akil, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang mengalihkan kewenangan untuk menangani sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh MA ke MK.
Mengenai subtansi perkara, MK menilai, dari keseluruhan fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan saksi-saksi dan dihubungkan dengan bukti-bukti surat yang relevan, memang terdapat pelanggaran-pelanggaran administratif dan pelanggaran yang bersifat pidana. “Akan tetapi jumlah suara yang didapat dari hasil pelanggaran tersebut yang dipandang sebagai perolehan yang tidak sah oleh Pasangan Calon Nomor Urut 1, oleh Mahkamah, dipandang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atas keseluruhan jumlah penggelembungan suara sebagaimana yang didalilkan,” kata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Adapun terhadap pelanggaran-pelanggaran yang bersifat pidana, menurut MK, hal tersebut merupakan ranah Panwaslu untuk menindaklanjutinya. “Meskipun terjadi pelanggaran-pelanggaran administratif dan yang bersifat pidana dalam Pemilukada, akan tetapi pelanggaran tersebut tidak terbukti bersifat terstruktur dan masif. Pelanggaran tersebut berpengaruh terhadap perolehan suara, akan tetapi tidak cukup untuk mengubah peringkat perolehan suara sebagaimana ditetapkan oleh KIP Kota Subulussalam,” tegas Ketua MK, Moh. Mahfud MD, membacakan Konklusi Putusan.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, meskipun terjadi pelanggaran-pelanggaran administratif dan yang bersifat pidana dalam Pemilukada Kota Subulussalam, akan tetapi pelanggaran tersebut tidak terbukti bersifat terstruktur dan masif. Hal tersebut dinyatakan dalam sidang pengucapan putusan perkara 65/PHPU.D-VI/2008, Selasa, (18/1/2009) di Ruang Sidang MK.
Lebih lanjut menurut MK pula, pelanggaran tersebut berpengaruh terhadap perolehan suara akan tetapi tidak cukup untuk mengubah peringkat perolehan suara. Dengan demikian, MK menolak permohonan Asmauddin dan Salmaza (Pasangan Calon Nomor Urut 5) untuk seluruhnya.
Asmauddin dan Salmaza (Pemohon) mengajukan keberatan kepada MK atas Keputusan Komisi Independen Pemilu (KIP) Kota Subulussalam Nomor 35 Tahun 2008 bertanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota Terpilih dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Subulussalam tanggal 18 Desember 2008, yang menetapkan perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 sejumlah 14.922 suara sedang Pasangan Calon Nomor Urut 5 (Pemohon) hanya memperoleh 14.729 suara. Hasil tersebut ditolak oleh Pemohon karena ada dugaan penggelembungan 873 suara pemilih.
Terkait dengan permohonan tersebut, KIP Kota Subulussalam (Termohon) berpendapat, Pasal 74 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai lex specialis masih berlaku, sehingga sengketa menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA) dan bukan kewenangan MK. Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh berbunyi, ”Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh Pasangan Calon Kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah hasil pemilihan ditetapkan.”
Menurut MK, pendapat Termohon yang menyatakan bahwa Pasal 74 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebut sebagai lex specialis tidaklah tepat, karena meskipun Pemerintahan Aceh mengenal dan memuat hal-hal khusus yang bersifat istimewa, tetapi ketentuan tersebut bukan merupakan salah satu sifat keistimewaan. “Substansi pasal tersebut tidak berbeda dengan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebelum diubah,” ujar Hakim Konstitusi Akil Mochtar.
Lebih lanjut, jelas Akil, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang mengalihkan kewenangan untuk menangani sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh MA ke MK.
Mengenai subtansi perkara, MK menilai, dari keseluruhan fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan saksi-saksi dan dihubungkan dengan bukti-bukti surat yang relevan, memang terdapat pelanggaran-pelanggaran administratif dan pelanggaran yang bersifat pidana. “Akan tetapi jumlah suara yang didapat dari hasil pelanggaran tersebut yang dipandang sebagai perolehan yang tidak sah oleh Pasangan Calon Nomor Urut 1, oleh Mahkamah, dipandang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atas keseluruhan jumlah penggelembungan suara sebagaimana yang didalilkan,” kata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Adapun terhadap pelanggaran-pelanggaran yang bersifat pidana, menurut MK, hal tersebut merupakan ranah Panwaslu untuk menindaklanjutinya. “Meskipun terjadi pelanggaran-pelanggaran administratif dan yang bersifat pidana dalam Pemilukada, akan tetapi pelanggaran tersebut tidak terbukti bersifat terstruktur dan masif. Pelanggaran tersebut berpengaruh terhadap perolehan suara, akan tetapi tidak cukup untuk mengubah peringkat perolehan suara sebagaimana ditetapkan oleh KIP Kota Subulussalam,” tegas Ketua MK, Moh. Mahfud MD, membacakan Konklusi Putusan.
Comments