Skip to main content

TEMBAK MATI TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945

Oleh Luthfi Eddyono

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan
oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum dan Militer (UU 2/Pnps/1964)
ditolak untuk seluruhnya. Hal tersebut disampaikan dalam sidang pengucapan
putusan 21/PUU-VI/2008 yang diajukan terpidana mati Bom Bali, Amrozi, Ali
Ghufron, dan Imam Samudra, Selasa (21/10/2008), di ruang sidang MK.

Amrozi, dkk. menganggap UU 2/Pnps/1964 tidak memenuhi syarat-syarat formil
pembentukan undang-undang yang ditentukan dalam UUD 1945 (uji formil), dan
Pasal 1, Pasal 14 ayat (3), dan ayat (4) UU 2/Pnps/1964 bertentangan dengan
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 (uji materiil).

Menurut mereka, UU 2/Pnps/1964 merupakan undang-undang yang pembentukannya
dilakukan dengan cara disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang bukan
lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, karena DPR-GR
dibentuk atas dasar Penetapan Presiden dan anggotanya juga diangkat oleh
Presiden dan tidak dipilih melalui pemilihan umum.

Selain itu, menurut para terpidana mati Bom Bali tersebut, Pasal 1 UU
2/Pnps/1964, menentukan bahwa pidana mati dilakukan dengan cara ditembak hingga
mati. Kalimat ini menimbulkan pengertian bahwa kematian yang akan diterima oleh
terpidana tidak sekaligus terjadi dalam “satu kali tembakan” namun harus
dilakukan secara berkali-kali hingga mati. Dengan demikian, terjadi penderitaan
yang amat sangat sebelum terpidana akhirnya mati.

Amrozy, dkk yang diwakili Tim Pengacara Muslim Pusat berargumen bahwa Pasal 14
ayat (4) UU 2/Pnps/1964 pun lebih memberikan penegasan atas kemungkinan tidak
terjadinya kematian dalam satu kali tembakan, sehingga diperlukan tembakan
pengakhir, dengan kalimat undang-undang yang berbunyi, “Apabila setelah
penembakan, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati,
maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk
melepaskan tembakan pengakhir...”.

Menjawab hal tersebut, MK menyatakan, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964
tidak sesuai dengan UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak mengenal produk
hukum yang bernama “Penetapan Presiden”. Akan tetapi, setelah Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai Undang-Undang (UU 5/1969) menyatakan UU 2/Pnps/1964 berlaku,
maka prosedur pembentukannya sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. ”Yaitu ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan
DPR, dalam hal ini DPR GR sebagai DPR yang sah pada awal Orde Baru sebelum DPR
hasil pemilihan umum terbentuk,” ucap Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan
membacakan Pertimbangan putusan.

Lebih lanjut Maruarar menyatakan, Presiden dan DPR GR yang membentuk UU 5/1969
yang menyatakan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 sebagai UU 2/Pnps/1964
adalah Presiden dan DPR yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari Orde
Lama ke Orde Baru dan telah diterima dan diakui oleh rakyat Indonesia. ”Dengan
demikian, dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian formil tidak beralasan,
sehingga harus ditolak,” tegasnya.

Terkait dengan pengujian materill, MK berpendapat, UU 2/Pnps/1964 yang
menentukan pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak memang menimbulkan rasa
sakit yang melekat di dalam pelaksanaan pidana mati sebagai akibat putusan
hakim yang sah. Walau demikian, menurut MK, meskipun terdapat tata cara lain
dalam pelaksanaan pidana mati sebagaimana dikemukakan para ahli yang dapat
menimbulkan kematian lebih cepat dan tidak menimbulkan rasa sakit yang
berkepanjangan, tetapi hal tersebut tidak berkaitan dengan konstitusionalitas
undang-undang yang diuji karena dengan cara apapun bila tidak dilakukan dengan
tepat akan menimbulkan rasa sakit yang mengesankan sebagai penyiksaan.

Lagipula, sepanjang yang berhubungan dengan tembakan pengakhir karena kegagalan
tembakan pertama tidak terdapat data-data yang membuktikan terjadinya kegagalan
tersebut sehingga Mahkamah harus mengesampingkan.

“Namun demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seyogianya
dimanfaatkan dalam pencarian cara-cara pelaksanaan pidana mati yang lebih
manusiawi, cepat, dan tidak menimbulkan rasa sakit yang lama. Hal tersebut
merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk melakukan pengkajian atas
kemungkinan mengubah UU 2/Pnps/1964 agar lebih sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi,” ucap Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan.

Ketua MK, Moh Mahfud MD, kemudian menjelaskan dalam Konklusi Putusan bahwa dari
berbagai alternatif tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, selain cara
ditembak, seperti digantung, dipenggal pada leher, disetrum listrik, dimasukkan
ke dalam ruang gas, dan disuntik mati, semuanya menimbulkan rasa sakit meskipun
gradasi dan kecepatan kematiannya berbeda-beda. Tidak ada satu cara pun yang
menjamin tiadanya rasa sakit dalam pelaksanaannya, bahkan semuanya mengandung
risiko terjadinya ketidaktepatan dalam pelaksanaan yang menimbulkan rasa sakit.

“Namun, hal itu bukan merupakan penyiksaan sebagaimana dimaksud Pasal 28I UUD
1945 sehingga Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan
Militer tidak bertentangan dengan UUD 1945. Maka permohonan Pemohon sepanjang
pengujian materiil tidak beralasan menurut hukum dan harus ditolak,“ katanya.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...