Skip to main content

MENGANTISIPASI “STATE OF EMERGENCY”


Oleh Luthfi Eddyono


Judul buku : Hukum Tata Negara Darurat
Penulis : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Penerbit : Rajawali Press
Tahun Terbit : 2007
Jumlah halaman : viii + 428 halaman



Persoalan hukum dan ilmu hukum tata negara, biasanya selalu dibicarakan dengan asumsi, yaitu bahwa negara berada dalam keadaan biasa dan normal. Akan tetapi dalam praktiknya, di samping kondisi negara dalam keadaan biasa (ordinary condition) atau normal (normal condition), kadang-kadang timbul atau terjadi keadaan yang tidak normal.


Apalagi, bila dikaitkan dengan kondisi negara Indonesia yang berada di kawasan persimpangan antarsamudera, antarbenua, antarkebudayaan, antarkekuatan ekonomi, dan bahkan antarperadaban, serta banyak sekali mengandung potensi bencana dan kejadian-kejadian yang luar biasa, sangatlah gampang timbul keadaan yang tidak lazim, keadaan luar biasa, atau keadaan yang tidak normal lainnya, yang semuanya termasuk kategori keadaan darurat atau state of emergency.

Jika keadaan darurat yang tidak biasa itu benar-benar terjadi, dapat timbul dua kemungkinan respon organ negara dan pemerintahan untuk mengatasinya, yaitu organ negara dan pemerintahan itu mengalami syndroma disfunctie (tidak berfungsi sebagaimana mestinya), atau penguasa negara berubah menjadi tiran (dictator by accident) yang memanfaatkan keadaan darurat yang tidak biasa itu untuk kepentingannya sendiri atau untuk memperkokoh kekuasaannya.(hal. 4). Sehingga perlu disediakan berbagai perangkat hukum positif yang sejak semula mengantisipasi berbagai kemungkinan keadaan yang bersifat tidak biasa semacam itu.


Untuk itu perlu dipahami bahwa dalam kondisi yang tidak biasa atau tidak normal itu, harus berlaku norma-norma yang juga bersifat khusus yang perlu diatur tersendiri sebagaimana mestinya. Baik mengenai syarat-syaratnya, tata cara pemberlakuannya, syarat dan tata cara mengakhirinya, serta hal-hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan dalam keadaan darurat, perlu diatur dengan jelas agar tidak memberi kesempatan timbulnya penyalahgunaan yang bertentangan dengan undang-undang dasar.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dibedakan pula konteks Hukum Tata Negara Darurat dengan istilah hukum darurat (emergency law) yang mencakup pengertian yang lebih luas, yaitu meliputi segala bidang hukum yang berlaku pada waktu negara berada dalam keadaan darurat. Karena, hukum yang berlaku dalam suatu negara, tidak hanya berkenaan dengan bidang hukum tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum yang lain, misalnya, bidang hukum perdata, bidang hukum bisnis, bidang hukum pidana, bidang hukum administrasi negara, dan sebagainya. Di samping itu, pada saat dan selama berlakunya keadaan darurat dalam suatu negara, maka segala ketentuan hukum yang ada, pada pokoknya masih tetap berlaku, kecuali oleh penguasa keadaan darurat ditentukan lain sesuai dengan kewenangannya yang sah. (hal. 15-16).


Di sinilah pentingnya buku ini. Karena buku ini mencoba menggambarkan berbagai pandangan teoritis keadaan darurat dan hukum tata negara darurat dengan dilengkapi pengalaman praktik kasus penerapan norma hukum tata negara negara darurat. Termaktub delapan Bab yang dimulai dengan Bab Petama, Pendahuluan. yang berisi latar belakang, ragam peristilahan, pemahaman pentingnya studi hukum tata negara darurat, dan perbandingan keadaan darurat subjektif dan objektif dalam wacana.

Bab Kedua yang menjelaskan kasus-kasus keadaan darurat di Indonesia sempat menyinggung keberadaan Pernyataan Keadaan Bahaya untuk Daerah Jawa Timur dan Madura yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 7 Juni 1946 ketika pemerintahan berpusat di Yogyakarta, yang dilanjutkan pernyataan oleh pemerintah bahwa mulai 28 Juni 1946 Indonesia dalam keadaaan bahaya. Kondisi ini terkait dengan keadaan sosial politik Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan yang penuh gejolak dan pergolakan. Pembahasan Bab Kedua juga menyinggung krisis politik 1965-1966, krisis politik 1997-1998, keadaan darurat akibat tsunami di Aceh, dan bahkan kasus luapan lumpur panas Sidoarjo dengan alternatif peyelesaiannya.

Bab Ketiga membahas lingkup pengertian dan prinsip-prinsip dasar. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan suatu negara dalam masa keadaan darurat (state of emergency), penulis buku yang saat ini menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi beranggapan bahwa penyelenggaraan tersebut tetap harus dikontrol dan dibatasi. Oleh karena itu, dibutuhkan proklamasi suatu keadaan darurat yang dilakukan secara resmi dan terbuka agar semua orang dapat mengontrolnya. Bahkan, dalam perspektif hukum internasional, pemberlakukan suatu keadaan darurat harus pula diketahui oleh dunia internasional secara luas, sehingga masyarakat dunia dapat turut pula mengontrolnya.

Bab Keempat menjelaskan perbandingan keadaan darurat diberbagai negara. Tak ayal dibahas model “Martial Law” Amerika Serikat, “Etat de Siege” Perancis, “Emergency Law” India, “Martial Law” Inggris, dan negara lainnya. Hal ini tentunya sangat terkait dengan keadaan darurat dan hukum militer dalam konteks hukum Internasional yang diramu dalam Bab Kelima. Yang tak kalah penting untuk dipahami kemudian adalah pembahasan pada Bab Keenam yang mendalami ketentuan konstitusional keadaan darurat; Bab Ketujuh yang menekankan pentingnya pemahaman mengenai aparatur pelaksana kekuasaan darurat; serta Bab Kedelapan yang merunut prosedur pemberlakuan keadaan darurat.

Isi buku ini memang ditujukan bagi mahasiswa dan sarjana hukum, serta para peminat dan penggiat masalah-masalah hukum dan kekuasaan, karena kajiannya bernuansa sangat akademis. Walau begitu setiap orang perlu membacanya, karena keadaan darurat tidak pernah dapat diprediksi, tetapi perlu dipahami agar kita semua siap menghadapinya.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan