Oleh Luthfi Eddyono
Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” Ukuran yang harus dipedomani tentang penyiksaan tersebut menurut Mahkamah Konstitusi dalam putusan 21/PUU-VI/2008 harus mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen hukum Hak Asasi Manusia yang berlaku di Indonesia.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment—CAT) pada tanggal 28 September 1998 melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 dan karenanya telah menjadi Negara Pihak (negara yang ikut dalam ketentuan) Konvensi.
Pasal 1 konvensi tersebut telah mendefinisikan torture (penyiksaan) sebagai “Any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is intentionally inflicted on a person for such purposes as obtaining from him or a third person information or a confession, punishing him for an act he or a third person has committed or is suspected of having committed, or intimidating or coercing him or a third person, or for any reason based on discrimination of any kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity. It does not include pain or suffering arising only from, inherent in or incidental to lawful sanctions.”
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kemudian menyatakan bahwa penyiksaan adalah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau pihak ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun dan/atau pejabat publik”. Definisi penyiksaan tersebut telah merujuk dan mengutip sepenuhnya Pasal 1 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi tersebut.
Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” Ukuran yang harus dipedomani tentang penyiksaan tersebut menurut Mahkamah Konstitusi dalam putusan 21/PUU-VI/2008 harus mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen hukum Hak Asasi Manusia yang berlaku di Indonesia.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment—CAT) pada tanggal 28 September 1998 melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 dan karenanya telah menjadi Negara Pihak (negara yang ikut dalam ketentuan) Konvensi.
Pasal 1 konvensi tersebut telah mendefinisikan torture (penyiksaan) sebagai “Any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is intentionally inflicted on a person for such purposes as obtaining from him or a third person information or a confession, punishing him for an act he or a third person has committed or is suspected of having committed, or intimidating or coercing him or a third person, or for any reason based on discrimination of any kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity. It does not include pain or suffering arising only from, inherent in or incidental to lawful sanctions.”
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kemudian menyatakan bahwa penyiksaan adalah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau pihak ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun dan/atau pejabat publik”. Definisi penyiksaan tersebut telah merujuk dan mengutip sepenuhnya Pasal 1 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi tersebut.
Comments