Skip to main content

JAMINAN HAK PENYANDANG DISABILITAS

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Hampir enam tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 13 Desember 2006, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang disabilitas dan mengatur langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi tersebut.

Mengingat betapa pentingnya menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia pun telah menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Walaupun Pemerintah Indonesia belum menandatangani Optional Protocol Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, tetapi Indonesia tetap memiliki komitmen untuk meratifikasi Konvensi tersebut.

Akhirnya ratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas dimunculkan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang telah disahkan dan diundangkan pada 10 November 2011 lalu.

Ada beberapa hal penting terkait ratifikasi konvensi tersebut, pertama, pengakuan bahwa diskriminasi atas setiap orang berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang. Kedua, penyandang disabilitas harus memiliki kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan dan program, termasuk yang terkait secara langsung dengan mereka. Ketiga, pentingnya aksesibilitas kepada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, kesehatan dan pendidikan, serta informasi dan komunikasi, yang memungkinkan penyandang disabilitas untuk menikmati sepenuhnya semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.


Diskriminasi Disabilitas

Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas telah membuat pengertian diskriminasi berdasarkan disabilitas yang diartikan “setiap pembedaan, pengecualian, atau pembatasan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak membatasi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya terhadap semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, sipil atau lainnya. Hal ini mencakup semua bentuk diskriminasi, termasuk penolakan atas pemberian akomodasi yang beralasan”.

Dengan demikian, pelanggaran hak-hak penyandang disabilitas secara umum telah dianggap merupakan diskriminasi, akan tetapi, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia hanya menyatakan, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.

Menurut penulis, diskriminasi berdasarkan disabilitas patut dimasukkan menjadi definisi formal atas diskriminasi yang diakui oleh negara. Dengan memasukkan disabilitas menjadi bagian atas diskriminasi dalam hukum hak asasi manusia Indonesia secara lebih tegas, maka upaya yang dilakukan untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia semua penyandang disabilitas termasuk mereka yang memerlukan dukungan yang lebih intensif akan semakin kuat, karena telah memiliki legitimasi hukum.

Affirmative Action
Agar penyandang disabilitas dapat memiliki kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan dan program, termasuk yang terkait secara langsung dengan mereka, menurut penulis, penyandang disabilitas pantas diberikan kesempatan lebih dan prioritas untuk terlibat dalam politik, sebagaimana telah diterapkan pada persentase keterwakilan perempuan dalam politik yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Dalam pemahaman tentang konsep diskriminasi, dikenal diskriminasi positif (positive discrimination) atau yang kerap dikenal dengan pengaturan affirmative action berupa perlakuan khusus untuk mengoreksi praktik diskriminasi di masa lalu dan sekarang bagi kelompok-kelompok yang tertinggal atau termarjinalkan melalui tindakan-tindakan aktif untuk menjamin persamaan hak.

Hal demikian dapat dibenarkan dan telah ditegaskan oleh Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Diskriminasi positif dapat dibenarkan, tetapi memang hanya bersifat temporer (sementara) apabila kedudukan antarkelompok telah sama dan setara. Konsep tersebut, misalnya, terdapat dalam Pasal 4 ayat 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang berbunyi, ”Adoption by States Parties of temporary special measures aimed at accelerating de facto equality between men and women shall not be considered discrimination as defined in the present Convention, but shall in no way entail as a consequence the maintenance of unequal or separate standards; these measures shall be discontinued when the objectives of equality of opportunity and treatment have been achieved.”

Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk memacu kesetaraan secara de facto tidak dianggap sebagai diskriminasi. Tetapi hal itu tidak boleh dilanggengkan karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda. Langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan, kesempatan dan tindakan telah tercapai.

Akses bagi Penyandang Disabilitas
Untuk meningkatkan akses bagi penyandang disabilitas, patut dikembangkan berbagai penelitian terkait ketersediaan dan penggunaan teknologi baru, termasuk tekonologi informasi dan komunikasi, alat bantu mobilitas, peralatan dan teknologi bantu, yang cocok untuk penyandang disabilitas, dengan memberikan prioritas kepada teknologi dengan biaya yang terjangkau. Secara perlahan tetapi pasti, bila itu dilakukan dengan dukungan semua pihak, maka akan tersedia informasi dan kesempatan bagi para penyandang disabilitas khususnya mengenai alat bantu mobilitas, peralatan dan teknologi bantu bagi penyandang disabilitas, termasuk teknologi baru serta bentuk-bentuk bantuan, layanan dan fasilitas pendukung lainnya.

Khususnya bagi kepentingan komunikasi dan interaksi bagi penyandang disabilitas perlu pengaturan publik atas tayangan teks, braille, komunikasi tanda timbul, cetak besar, multimedia, audio, plain-language, pembaca-manusia dan bentuk-bentuk, sarana dan format komunikasi augmentatif maupun alternatif lainnya, serta bahasa yang mencakup bahasa lisan dan bahasa isyarat serta bentuk-bentuk bahasa non lisan yang lain.

Bagi pemerintah, hal demikian dapat diterapkan pada berbagai fasilitas publik yang merupakan bagian dari pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Bila hal tersebut tersedia, maka secara tidak langsung memberi pemahaman dan kesadaran bagi warga untuk menghormati dan mendukung, serta berpartisipasi penuh dan efektif dalam melawan stereotip, prasangka, dan praktik-praktik yang merugikan penyandang disabilitas.

Intinya, semua hal tersebut dalam rangka mewujudkan kesetaraan manusia di hadapan dan di bawah hukum dan berhak, tanpa diskriminasi, untuk mendapatkan manfaat hukum yang setara, serta memberikan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia dari penyandang disabilitas dalam semua kebijakan dan program.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan