Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
“In the early 1970s a few people had the radical idea that nonsmokers should not have to breathe secondhand tobacco smoke. At that time it was considered impolite to ask people not to smoke. Smoking was not only acceptable; it was the norm.”
Kalimat di atas merupakan kalimat pembuka Bagian 2 buku Tobacco War: Inside the California Battles (2000) yang ditulis oleh Stanton A. Glantz dan Edith D. Balbach. Buku tersebut secara komprehensif menjelaskan sejarah perang tembakau di Amerika Serikat, sehingga patut untuk dijadikan acuan untuk memahami “perang tembakau (rokok)” di tanah air kita karena tersingkap pola-pola pertarungan yang serupa walau tak sama.
Kesimpulannya adalah, penggunaan kebijakan hukum dan politik efektif untuk menghadang asap rokok. Daripada meyakinkan seseorang untuk berhenti merokok, lebih baik menegaskan dalam bentuk peraturan yang mewajibkan adanya kawasan tanpa rokok. Upaya sistemik tersebut penting untuk meyakinkan industri rokok dan masyarakat bahwa ada hak bagi orang-orang yang tidak merokok untuk menghirup udara sehat, bersih, dan bebas asap rokok.
Rokok memang unik dan khusus. Rokok adalah satu-satunya produk konsumen yang dibolehkan (legal) padahal berbahaya tidak hanya bagi penggunanya, tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya. Bahkan Badan Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO) menyatakan, “the spread of the tobacco epidemic is a global problem with serious consequences for public health” (WHO Framework Convention on Tobacco Control).
Bagaimana tidak, penelitian yang dilakukan oleh Tri wibowo berjudul “Potret Industri Rokok di Indonesia” dalam Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 7, No. 2 Juni 2003, dan dapat diunduh dalam laman www.fiskal.depkeu.go.id, menjelaskan, pada tahun 1981 produksi rokok “hanya” mencapai 85,274 miliar batang, kemudian produksi rokok naik drastis mencapai puncaknya pada tahun 1998 (masa krisis) dengan total produksi sebanyak 269,85 miliar batang. Dengan asumsi telah dikonsumsi keseluruhannya oleh individu, jumlah tersebut sangat besar bagi pengaruhnya terhadap menurunnya kualitas kesehatan masyarakat.
Terbukti pada tahun 2010, jumlah kematian akibat rokok mencapai 6 juta orang di seluruh dunia dan sekitar 73% dari angka tersebut berasal dari negara berpenghasilan kecil dan menengah. Angka kematian akibat penyakit yang disebabkan merokok di Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan India (www.wartaekonomi.co.id).
Inovasi Lokal Menuju Upaya Nasional
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, di bawah kepemimpinan Sutiyoso sempat membuat Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok yang pada pokoknya menentukan bahwa tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, dan angkutan umum merupakan kawasan dilarang merokok.
Walau demikian, dimungkinkan pula adanya tempat khusus atau kawasan merokok yang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tempatnya terpisah secara fisik atau tidak bercampur dengan kawasan dilarang merokok; b. dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki sistem sirkulasi udara; c. dilengkapi asbak atau tempat pembuangan puntung rokok; dan d. dapat dilengkapi dengan data dan informasi bahaya merokok bagi kesehatan.
Inovasi lokal tersebut kemudian diakomodir oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang merupakan cerminan dari upaya nasional untuk melawan luasnya kepulan asap rokok di Indonesia. Coba simak Pasal 115 ayat (1) yang merupakan Bagian Ketujuh Belas ‘Pengamanan Zat Adiktif’.
Secara tegas dan lugas dinyatakan, “Kawasan tanpa rokok antara lain: a. fasilitas pelayanan kesehatan; b. tempat proses belajar mengajar; c. tempat anak bermain; d. tempat ibadah; e. angkutan umum; f. tempat kerja; dan g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.” Dengan penjelasan, “Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok”, sehingga ada pengecualian terhadap kawasan tanpa rokok tertentu untuk mendapatkan penyediaan tempat khusus merokok.
Dengan mendasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut, Fauzi Bowo, Gubernur Jakarta berikutnya, lebih progresif lagi. Muncul Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok yang secara lugas menyatakan, tempat khusus merokok harus memenuhi ketentuan: a. terpisah secara fisik dan terletak di luar gedung; b. tidak berdekatan dengan pintu keluar masuk gedung.
Peraturan tersebut didasarkan atas hasil penelitian pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009 yang hasilnya, tempat khusus merokok, sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur sebelumnya, terbukti tidak efektif melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok orang lain.
Tantangan
Tiga orang perokok, yaitu Enryo Oktavian, Abhisam Demosa Makahekum, dan Irwan Sofyan lantas mengajukan permohonan pengujian norma penjelasan Pasal 115 ayat (1) dengan alasan, kata ‘dapat’ dalam Penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU 36/2009 mengandung makna yaitu perintah yang ‘tidak wajib atau tidak harus’ menyediakan tempat khusus merokok pada tempat umum, tempat kerja dan tempat lainnya.
Dalam putusan Nomor 57/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstitusi membenarkan dalil Pemohon tersebut dan juga menyatakan, kata “dapat” berimplikasi tiadanya proporsionalitas dalam pengaturan tentang “tempat khusus merokok” yang mengakomodasikan antara kepentingan perokok untuk merokok dan kepentingan publik untuk terhindar dari ancaman bahaya terhadap kesehatan dan demi meningkatnya derajat kesehatan.
“Hal tersebut karena merokok merupakan perbuatan, yang secara hukum legal atau diizinkan, sehingga dengan kata ‘dapat’ tersebut berarti pemerintah boleh mengadakan atau tidak mengadakan ‘tempat khusus untuk merokok’. Hal itu akan dapat menghilangkan kesempatan bagi para perokok untuk merokok manakala pemerintah dalam implementasinya benar-benar tidak mengadakan ‘tempat khusus untuk merokok’ di tempat kerja, di tempat umum, dan di tempat lainnya”. Demikian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya pertimbangan tersebut, sebagian pendapat menafsirkan kalau merokok telah diakui sebagai hak fundamen dan turunan hak konstitusional yang termuat dalam UUD 1945. Sebagian lagi berfikir, dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi nyata-nyata berupaya untuk berada di posisi tengah. Melindungi hak perokok pasif dan juga kepentingan perokok aktif.
Putusan Mahkamah Konstitusi vs Peraturan Gubernur Jakarta
Saya berpandangan, Mahkamah Konstitusi terfokus pada kata “dapat” yang kerap menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Pernyataan Mahkamah Konstitusi bahwa kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU 36/2009 bertentangan dengan konstitusi semata-mata dimaksudkan untuk memastikan hukum agar tidak digunakan dan ditafsirkan berbeda. Kepastian hukum itu sendiri merupakan hak konstitusional karena telah termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, secara prinsip pun tidaklah menafikan progresifitas Gubernur Jakarta yang secara lugas mengatur, tempat khusus merokok harus memenuhi ketentuan: a. terpisah secara fisik dan terletak di luar gedung; b. tidak berdekatan dengan pintu keluar masuk gedung.
Masih terdapat kesesuaian dan kesinambungan antara Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang Kawasan Dilarang Merokok yang secara patut menentukan, “khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok” dan “tempat khusus merokok harus memenuhi ketentuan: a. terpisah secara fisik dan terletak di luar gedung; b. tidak berdekatan dengan pintu keluar masuk gedung.”
Bagi saya, kalau mau lebih progresif lagi, tempat khusus merokok tersebut haruslah di luar gedung dan ditetapkan di satu titik tertentu, sehingga seluruh bagian taman-taman atau jalan-jalan menuju gedung tidak penuh dengan asap rokok seperti sekarang ini. Tirulah Singapura.
Hak Fundamen untuk Merokok?
Dalam artikel “There Is No Constitutional Right to Smoke” yang dipublikasikan oleh Public Health Law & Policy Center (2004), ditegaskan dua hal. Pertama, tidak ada hak fundamen untuk merokok (there is no fundamental right to smoke). Kedua, perokok bukanlah orang atau kelompok yang dilindungi (smokers are not a protected group of persons).
Pendapat demikian mengacu pada putusan Fagan v. Axelrod, 550 N.Y.S. 2d 552, 560 (1990) yang menyatakan, “Smoking is not an ‘immutable characteristic’ because people are not born as smokers and smoking is a behavior that people can stop. Because smokers are not a protected group, laws limiting smoking must only be rationally related to a legitimate government purpose”.
Setiap orang tidak dilahirkan sebagai perokok dan kebiasaan merokok dapat dihentikan. Argumentasi tersebut merupakan alasan kuat untuk menjelaskan bahwa merokok bukanlah hak fundamen (asasi) . Yang menjadi hak asasi manusia adalah hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat [Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Dalam konteks hak asasi manusia tersebut, maka negara perlu untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil).
Tidak ada gunanya menentang arus zaman. Kalau dahulu meminta orang lain untuk tidak merokok dianggap tak sopan dan di luar kepatutan, maka sekarang merokok bukan pada tempatnya merupakan pelanggaran.
“In the early 1970s a few people had the radical idea that nonsmokers should not have to breathe secondhand tobacco smoke. At that time it was considered impolite to ask people not to smoke. Smoking was not only acceptable; it was the norm.”
Kalimat di atas merupakan kalimat pembuka Bagian 2 buku Tobacco War: Inside the California Battles (2000) yang ditulis oleh Stanton A. Glantz dan Edith D. Balbach. Buku tersebut secara komprehensif menjelaskan sejarah perang tembakau di Amerika Serikat, sehingga patut untuk dijadikan acuan untuk memahami “perang tembakau (rokok)” di tanah air kita karena tersingkap pola-pola pertarungan yang serupa walau tak sama.
Kesimpulannya adalah, penggunaan kebijakan hukum dan politik efektif untuk menghadang asap rokok. Daripada meyakinkan seseorang untuk berhenti merokok, lebih baik menegaskan dalam bentuk peraturan yang mewajibkan adanya kawasan tanpa rokok. Upaya sistemik tersebut penting untuk meyakinkan industri rokok dan masyarakat bahwa ada hak bagi orang-orang yang tidak merokok untuk menghirup udara sehat, bersih, dan bebas asap rokok.
Rokok memang unik dan khusus. Rokok adalah satu-satunya produk konsumen yang dibolehkan (legal) padahal berbahaya tidak hanya bagi penggunanya, tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya. Bahkan Badan Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO) menyatakan, “the spread of the tobacco epidemic is a global problem with serious consequences for public health” (WHO Framework Convention on Tobacco Control).
Bagaimana tidak, penelitian yang dilakukan oleh Tri wibowo berjudul “Potret Industri Rokok di Indonesia” dalam Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 7, No. 2 Juni 2003, dan dapat diunduh dalam laman www.fiskal.depkeu.go.id, menjelaskan, pada tahun 1981 produksi rokok “hanya” mencapai 85,274 miliar batang, kemudian produksi rokok naik drastis mencapai puncaknya pada tahun 1998 (masa krisis) dengan total produksi sebanyak 269,85 miliar batang. Dengan asumsi telah dikonsumsi keseluruhannya oleh individu, jumlah tersebut sangat besar bagi pengaruhnya terhadap menurunnya kualitas kesehatan masyarakat.
Terbukti pada tahun 2010, jumlah kematian akibat rokok mencapai 6 juta orang di seluruh dunia dan sekitar 73% dari angka tersebut berasal dari negara berpenghasilan kecil dan menengah. Angka kematian akibat penyakit yang disebabkan merokok di Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan India (www.wartaekonomi.co.id).
Inovasi Lokal Menuju Upaya Nasional
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, di bawah kepemimpinan Sutiyoso sempat membuat Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok yang pada pokoknya menentukan bahwa tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, dan angkutan umum merupakan kawasan dilarang merokok.
Walau demikian, dimungkinkan pula adanya tempat khusus atau kawasan merokok yang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tempatnya terpisah secara fisik atau tidak bercampur dengan kawasan dilarang merokok; b. dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki sistem sirkulasi udara; c. dilengkapi asbak atau tempat pembuangan puntung rokok; dan d. dapat dilengkapi dengan data dan informasi bahaya merokok bagi kesehatan.
Inovasi lokal tersebut kemudian diakomodir oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang merupakan cerminan dari upaya nasional untuk melawan luasnya kepulan asap rokok di Indonesia. Coba simak Pasal 115 ayat (1) yang merupakan Bagian Ketujuh Belas ‘Pengamanan Zat Adiktif’.
Secara tegas dan lugas dinyatakan, “Kawasan tanpa rokok antara lain: a. fasilitas pelayanan kesehatan; b. tempat proses belajar mengajar; c. tempat anak bermain; d. tempat ibadah; e. angkutan umum; f. tempat kerja; dan g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.” Dengan penjelasan, “Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok”, sehingga ada pengecualian terhadap kawasan tanpa rokok tertentu untuk mendapatkan penyediaan tempat khusus merokok.
Dengan mendasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut, Fauzi Bowo, Gubernur Jakarta berikutnya, lebih progresif lagi. Muncul Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok yang secara lugas menyatakan, tempat khusus merokok harus memenuhi ketentuan: a. terpisah secara fisik dan terletak di luar gedung; b. tidak berdekatan dengan pintu keluar masuk gedung.
Peraturan tersebut didasarkan atas hasil penelitian pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009 yang hasilnya, tempat khusus merokok, sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur sebelumnya, terbukti tidak efektif melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok orang lain.
Tantangan
Tiga orang perokok, yaitu Enryo Oktavian, Abhisam Demosa Makahekum, dan Irwan Sofyan lantas mengajukan permohonan pengujian norma penjelasan Pasal 115 ayat (1) dengan alasan, kata ‘dapat’ dalam Penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU 36/2009 mengandung makna yaitu perintah yang ‘tidak wajib atau tidak harus’ menyediakan tempat khusus merokok pada tempat umum, tempat kerja dan tempat lainnya.
Dalam putusan Nomor 57/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstitusi membenarkan dalil Pemohon tersebut dan juga menyatakan, kata “dapat” berimplikasi tiadanya proporsionalitas dalam pengaturan tentang “tempat khusus merokok” yang mengakomodasikan antara kepentingan perokok untuk merokok dan kepentingan publik untuk terhindar dari ancaman bahaya terhadap kesehatan dan demi meningkatnya derajat kesehatan.
“Hal tersebut karena merokok merupakan perbuatan, yang secara hukum legal atau diizinkan, sehingga dengan kata ‘dapat’ tersebut berarti pemerintah boleh mengadakan atau tidak mengadakan ‘tempat khusus untuk merokok’. Hal itu akan dapat menghilangkan kesempatan bagi para perokok untuk merokok manakala pemerintah dalam implementasinya benar-benar tidak mengadakan ‘tempat khusus untuk merokok’ di tempat kerja, di tempat umum, dan di tempat lainnya”. Demikian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya pertimbangan tersebut, sebagian pendapat menafsirkan kalau merokok telah diakui sebagai hak fundamen dan turunan hak konstitusional yang termuat dalam UUD 1945. Sebagian lagi berfikir, dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi nyata-nyata berupaya untuk berada di posisi tengah. Melindungi hak perokok pasif dan juga kepentingan perokok aktif.
Putusan Mahkamah Konstitusi vs Peraturan Gubernur Jakarta
Saya berpandangan, Mahkamah Konstitusi terfokus pada kata “dapat” yang kerap menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Pernyataan Mahkamah Konstitusi bahwa kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU 36/2009 bertentangan dengan konstitusi semata-mata dimaksudkan untuk memastikan hukum agar tidak digunakan dan ditafsirkan berbeda. Kepastian hukum itu sendiri merupakan hak konstitusional karena telah termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, secara prinsip pun tidaklah menafikan progresifitas Gubernur Jakarta yang secara lugas mengatur, tempat khusus merokok harus memenuhi ketentuan: a. terpisah secara fisik dan terletak di luar gedung; b. tidak berdekatan dengan pintu keluar masuk gedung.
Masih terdapat kesesuaian dan kesinambungan antara Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang Kawasan Dilarang Merokok yang secara patut menentukan, “khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok” dan “tempat khusus merokok harus memenuhi ketentuan: a. terpisah secara fisik dan terletak di luar gedung; b. tidak berdekatan dengan pintu keluar masuk gedung.”
Bagi saya, kalau mau lebih progresif lagi, tempat khusus merokok tersebut haruslah di luar gedung dan ditetapkan di satu titik tertentu, sehingga seluruh bagian taman-taman atau jalan-jalan menuju gedung tidak penuh dengan asap rokok seperti sekarang ini. Tirulah Singapura.
Hak Fundamen untuk Merokok?
Dalam artikel “There Is No Constitutional Right to Smoke” yang dipublikasikan oleh Public Health Law & Policy Center (2004), ditegaskan dua hal. Pertama, tidak ada hak fundamen untuk merokok (there is no fundamental right to smoke). Kedua, perokok bukanlah orang atau kelompok yang dilindungi (smokers are not a protected group of persons).
Pendapat demikian mengacu pada putusan Fagan v. Axelrod, 550 N.Y.S. 2d 552, 560 (1990) yang menyatakan, “Smoking is not an ‘immutable characteristic’ because people are not born as smokers and smoking is a behavior that people can stop. Because smokers are not a protected group, laws limiting smoking must only be rationally related to a legitimate government purpose”.
Setiap orang tidak dilahirkan sebagai perokok dan kebiasaan merokok dapat dihentikan. Argumentasi tersebut merupakan alasan kuat untuk menjelaskan bahwa merokok bukanlah hak fundamen (asasi) . Yang menjadi hak asasi manusia adalah hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat [Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Dalam konteks hak asasi manusia tersebut, maka negara perlu untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil).
Tidak ada gunanya menentang arus zaman. Kalau dahulu meminta orang lain untuk tidak merokok dianggap tak sopan dan di luar kepatutan, maka sekarang merokok bukan pada tempatnya merupakan pelanggaran.
Comments