Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Dibandingkan berbagai aktivitas kekerasan anak muda seperti tawuran dan perkelahian yang telah memakan korban jiwa, kegiatan Komunitas Peace Generation di Yogyakarta baru-baru ini sungguh lebih positif dan mencerahkan. Mereka membuat Gerakan Pelangi Manusia, Rainbow for Peace: “The Rainbow is You” pada 21 September 2012 lalu, di Nol Kilometer Yogyakarta dalam bentuk flash mob dan pertunjukkan seni untuk memperingati hari perdamaian.
Komunitas yang eksis sejak tahun 2003 dan bergerak di bidang resolusi konflik dan perdamaian di kalangan anak muda tersebut juga sengaja melibatkan berbagai komunitas-komunitas pemuda lainnya di Yogyakarta untuk membangun jaringan dalam semangat kebhinekaan, perdamaian, dan menolak segala bentuk kekerasan.
Memahami Perbedaan
Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan populasi yang diperkirakan sebesar 230.472.833 jiwa pada tahun 2009, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda dengan semboyan nasional Indonesia, “Bhinneka tunggal ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu (Indonesia.go.id).
Dengan demikian, sulit untuk tidak mengatakan perbedaan merupakan suatu keniscayaan bangsa dan masyarakat serta individu di dalamnya. Perbedaan-perbedaan fisik, materiil, dan spiritual mengayakan masyarakat sekaligus menjadi potensi konflik dan pertikaian. Dibutuhkan upaya yang tidak mudah untuk terus menggerakkan perkembangan dan kemajuan masyarakat tanpa perlu menimbulkan gesekan-gesekan struktural dan budaya yang merugikan.
Salah satu upaya yang harus terus-menerus digalakkan adalah mematangkan anak bangsa untuk tetap berpikir nir-kekerasan dalam penyelesaian konflik. Pada prinsipnya, dalam kehidupan bermasayarakat konflik merupakan sesuatu hal yang sulit dihindari dan memang tidak perlu dihindari karena konflik dapat bersifat membangun bila disikapi dengan baik. Bila tidak dapat disikapi dengan baik, konflik bisa mewujud dalam bentuk kekerasan.
Kekerasan dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Profesor Johan Galtung, yang mendirikan International Peace Research Institute of Oslo (PRIO), sebagaimana dikutip Mufti Makarim al-Ahlaq (“Memaknai “Kekerasan”) membagi kekerasan dalam tiga kategori, yaitu kekerasan langsung (antara pelaku-korban), kekerasan struktural (yang bersumber dari struktur sosial –antar orang, masyarakat, kumpulan masyarakat), dan kekerasan kultural (simbolis dalam agama, ideologi, bahasa, seni, pengetahuan, hukum, media, pendidikan) yang sering digunakan untuk melegitimasi kekerasan langsung dan kekerasan struktural.
Kekerasan kultural dan kekerasan struktural tersebut dapat dan kerap menyebabkan kekerasan langsung. Kekerasan langsung juga menguatkan/memperburuk kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Kekerasan langsung berupa fisik atau verbal kerap muncul sebagai perilaku yang tidak berubah, karena akarnya adalah struktur dan budaya.
Pertanyaannya adalah bagaimana menghadapi dengan sebaik-baiknya berbagai jenis kekerasan tersebut?
Prinsip Nir-kekerasan
Kemenangan Mohandas Karamchand Gandhi menggunakan konsep Ahimsa, yaitu perjuangan tanpa kekerasan (nir-kekerasan) di India, membuat prinsip nir-kekerasan (non-violence) mulai dikenal dan diakui di dunia sebagai prinsip yang dapat menjadi alternatif dalam menghadapi konflik dan kekerasan yang timbul dimanapun berada. Secara harfiah, Ahimsa berarti nir-kekerasan (a= nir/tanpa, himsa= kekerasan).
Menurut Taufan Suqma dalam artikel “Roda Pintal Dan Konsep Perjuangan Gandhi (Sebuah Telaah Filsafat Politik)”, ajaran Gandhi tersebut sebenarnya merupakan ajaran klasik dari agama Hindu yang mengajarkan prinsip-prinsip etis dalam kehidupan. Makna Ahimsa lebih menekankan pada makna penolakan atau penghindaran secara total terhadap segenap keinginan, kehendak atau tindakan yang mengarah pada bentuk penyerangan atau melukai.
Walau demikian, M. Nurul Ikhsan Saleh dalam artikel “Menghidupkan Pendidikan Anti Kekerasan” menyatakan, hampir dalam semua agama di dunia, mengajarkan prinsip-prinsip nir-kekerasan. Dalam Islam, prinsip ini begitu jelas sebagaimana disebutkan oleh sebuah hadis yang kemudian dijadikan sebagai kaidah fikih yang vital, yaitu la darra wa la dirar. Agama-agama lain, juga memiliki doktrin tentang nir-kekerasan. Contohnya tradisi Budhisme, prinsip nir-kekerasan memproyeksikan sebuah cita-cita perdamaian universal, yaitu dapat diperluas menjadi mencakup ide hati atau pikiran yang damai.
Terbukti keberhasilan gerakan nir-kekerasan merupakan gerakan lintas agama dan budaya sebagaimana yang terjadi dalam gerakan hak-hak sipil Afrika-Amerika (1955-1968) dengan tokoh-tokohnya yang populer seperti Malcolm X, Rosa Parks, dan Martin Luther King, Jr. Di Indonesia juga dikenal Komunitas Sedulur Sikep atau Komunitas Samin yang kerap dianggap sebagai perintis perlawanan aktif tanpa kekerasan (active non-violence) yang orisinil khas Indonesia dalam menentang penjajahan.
Active Non-Violence
Barbara Deming pernah mengatakan, “Nonviolent action does not have to get others to be nice. It can in effect force them to consult their consciences.” Pada prinsipnya, bersikap aktif tanpa kekerasan (active non-violence) bukanlah dimaknai tidak melakukan apa-apa untuk melawan. Sebaliknya, active non-violence berarti bersikap aktif menunjukkan dan melawan ketidakadilan dan kekerasan, tetapi tidak dengan cara-cara kekerasan.
Dimulai dengan pemahaman dan peningkatan kesadaran diri sendiri hingga merembet kepada orang lain. Gagasan awalnya adalah agar menjadi refleksi bagi diri bahwa ketidakadilan dan kekerasan tidak mungkin dihapuskan tanpa memutus rantai siklus ketidakadilan dan kekerasan itu sendiri.
Gene Sharp (1973) mengidentifikasi sedikitnya 198 metode aksi nir-kekerasan. Sharp kemudian membagi aksi tersebut dalam tiga kelompok besar, yaitu: (1) protes dan persuasi, (2) nonkooperasi, dan (3) intervensi. Dalam konteks kekinian, sebagaimana dicontohkan Diah Kusumaningrum dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, aksi tersebut dapat berupa: Iwan Fals menyuarakan kritik terhadap Orde Baru melalui lagu Bento, Bongkar, dan Oemar Bakri (protes dan persuasi); boikot atas sepatu merek tertentu, karena perusahaan tersebut menggunakan buruh anak-anak yang dibayar amat rendah (nonkooperasi); dan pada tahun 1970an, banyak warga Amerika Serikat menolak membayar pajak, karena tidak ingin pajak mereka digunakan untuk membiayai perang Vietnam (intervensi).
Banyak contoh lain yang dapat dilakukan untuk mewujudkan prinsip aktif tanpa kekerasan. Untuk meluaskan prinsip tersebut, dibutuhkan para agen pembangun perdamaian (peace builder) dari berbagai kalangan. Anak muda tentu diharapkan dengan berbagai motivasi dan kreativitasnya mampu menanamkan rasa nir-kekerasan dalam jiwa dan sikapnya untuk disebarkan dalam lingkungan sebayanya (peer educator). Karenanya berbagai aktivitas aktif tanpa kekerasan seperti ditunjukkan oleh Komunitas Peace Generation di Yogyakarta baru-baru ini patut menjadi inspirasi bagi anak muda lainnya dan haruslah didukung semua pihak.
Comments