Skip to main content

Resensi: Quo Vadis Ilmu Hukum Indonesia?



Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


 Image
Judul Buku: Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia
Penulis: Satjipto Rahardjo, dkk
Editor: Esmi Warassih, dkk
Penerbit: Thafa Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, dan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Univesitas Diponegoro
Terbitan: Cetakan I, Oktober 2012
Jumlah Halaman: xxvii dan 655.

Dilihat dari para penerbitnya, bahasan buku ini jelas akan mengarah kemana. Diterbitkan oleh Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia dan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Univesitas Diponegoro, merekalah yang telah berkolaborasi untuk menggelar Kongres Ilmu Hukum Indonesia baru-baru ini (20/10/2012). Buku ini merupakan “kado” dari kongres tersebut bagi pengembangan keilmuan hukum di Indonesia.
Berasal dari berbagai makalah yang dipresentasikan dalam kongres, maka pengkotak-kotakan tema pun disesuaikan dengan tujuan kongres, yaitu menuntaskan surat wasiat Prof. Tjip (panggilan akrab Almarhum Prof. Satjipto Rahardjo) berupa: Kongres Ilmu Hukum yang telah ditulis sendiri oleh Prof. Tjiip Term of Reference (TOR)-nya. Tema-tema yang diusung adalah pencarian format epistemologi ilmu hukum dan socio-legal; refleksi teoritis ilmu hukum; refleksi tematis ilmu hukum; dan refleksi hasil penelitian ilmu hukum.
Prof Tjip adalah seorang tokoh keilmuan hukum yang mengembangkan Teori Hukum Progresif yang dikatakan merupakan hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan. Dengan asumsi dasar hukum adalah untuk manusia, maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum. Seperti itulah pandangan Prof Tjip yang dikenal pada umumnya. Padahal pandangan Prof Tjip jauh lebih luas lagi sebagaimana yang diungkapkannya dalam tulisan “Ilmu Hukum di Indonesia dalam Lintasan Perkembangan Sains” yang menjadi epilog buku ini.
Karenanya, wajarlah bila Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia dan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip benar-benar berupaya menyelenggarakan Kongres yang melibatkan ratusan akademisi tersebut. Nyatanya, tulisan-tulisan dalam makalah yang dibukukan juga tidak hanya mengikuti dan membenarkan pemikiran Prof Tjip, tetapi juga melengkapi pemikiran-pemikirannya.
Pencarian Format Epistemologi Ilmu Hukum Dan Socio-Legal
Dalam tulisan B. Arief Sidharta “Struktur Ilmu Hukum” diuraikan berbagai tujuan ilmu hukum. Kajian ini penting untuk melakukan rekonstruksi bagi ilmu hukum itu sendiri. Tujuan ilmu hukum yang diuraikan adalah: memaparkan material hukum secara sistematikal; menunjukkan apa hukumnya tentang ihwal tertentu dengan mengacu aturan hukum yang relevan; memberikan penjelasan historikal tentang situasi tatanan hukum yang berlaku; memberikan kritik terhadap tatanan hukum, aturan hukum positif atau putusan hukum berdasarkan doktrin, kebijakan dan politik hukum yang sudah disepakati dengan mengacu cita-hukum, cita-negara, dan tujuan menegara; mengeliminasi kontradiksi yang tampak tampil dalam tata-hukum; merekomendasi interpretasi terhadap aturan hukum, jika aturan hukum itu kabur atau tidak memberikan kepastian; dan mengusulkan amandemen terhadap perundang-undangan yang ada atau pembentukan undang-undang baru;
Terkuak pula perbedaan kajian socio-legal dan sosiologi hukum. Hal ini menarik karena kerap banyak yang menganggap keduanya sama. Menurut Shidarta dalam tulisan “Epistemologi Socio-Legal”, kajian socio-legal adalah jenis studi yang merepresentasikan cara melihat hukum lebih kepada konteks daripada teks, sedangkan sosiologi hukum adalah salah satu dari jenis ilmu empiris yang berobjekkan hukum. Artinya, sosiologi hukum adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan oleh kajian socio-legalSocio-legal bukanlah sebuah ilmu, melainkan sebuah pendekatan dalam memahami fenomena hukum. Sebagai sebuah pendekatan, kajian socio-legaldapat saja memulai titik tolaknya tidak dari satu basis ilmu tunggal, tetapi dari beberapa ilmu sekaligus.
FX Adji Samekto dalam artikel “Studi Hukum Kritis dalam Perspektif Studi Socio Legal” menyatakan, terdapat studi hukum kritis yang merupakan bangunan cara berpikir (analisis) dalam ranah kajiansocio-legal dalam mengkaji keberadaan suatu aturan dan implementasi hukum, yang mengacu pada paradigma critical theory yang pada pokoknya mengkritik ajaran hukum dan dominasi sistem hukum modern yang dibangun berbasis paradigma positivisme.
Menurut Suteki dalam artikel “Perkembangan Ilmu Hukum dan Implikasi Metodologinya”, setelah metode filosofis-normatif (Plato) berhadapan dengan metode empiris (Aristoteles),  penggunaan pendekatan normatif-legistis (Hans Kelsen, John Austin) akhirnya tidak dapat dibendung lagi dominasinya hingga saat ini. Walaupun demikian, telah muncul pendekatan baru yang menggugatnya yakni pendekatan yang bukan hanya melihat aspek hukumnya (legal research), tetapi juga aspek socio-nya (socio research) yang kemudian dikenal dengan socio-legal. Akan tetapi, tidak hanya cukup disitu saja, untuk menghadirkan keadilan subtantif dibutuhkan pertimbangan aspek hukum lain yakni natural law yang berisi moral, etik, dan agama, sehingga muncullah pendekatan keempat dalam ilmu hukum yang oleh Werner Menski disebut Legal Pluralism Approach.
Refleksi Teoretis Ilmu Hukum, Refleksi Tematis, dan Hasil Penelitian Ilmu Hukum
Victor Imanuel W. Nalle dalam tulisan “Konstruksi Moralitas dalam Hukum melalui Diskursus” menyatakan, terdapat kelemahan-kelemahan dan kontradiksi argumentasi positivis hukum (Kelsen) yang memisahkan moralitas dan hukum, yaitu: pemisahan moralitas dan hukum menggunakan parameter yang terbatas pada sanksi tetapi melupakan substansi; ketidakjelasan konsepgrundnorm menjadikan sistem hukum yang dibangun Kelsen tidak memiliki tujuan hukum yang bermanfaat bagi peradaban manusia.
Tulisan lain dari Arif Hidayat “Membumikan Paradigma Emansipasi dan Kontinjensi dalam Peneguhan Ilmu Hukum Berbasis Moral Keindonesian” mengkritisi pendidikan hukum yang hanya sibuk mengajarkan dan berurusan dengan peraturan dan prosedur berhukum dan tidak mengakarkannya sampai ke basis kemanusiaan atau kenuranian hanya akan menghambat pelaksanaan hukum progresif.
Ristina Yudhanti dan Yakub Adi Krisanto mengemukakan “Konstruksi Hukum yang Kontekstual dengan Pendekatan Hermeneutika Hukum” yang pada pokoknya menunjukkan keunggulan hermeneutika dalam menafsirkan suatu teks yang dapat memberikan posisi penting nilai-nilai yang berkembang pada saat itu.
Beragam pemikiran kemudian muncul ketika masuk pada bagian ketiga dan keempat buku, bisa disimak diantaranya: penerapan hukum progresif, model Integrative Regmap-Regulatory Impact Assesment (Irr), penyelesaian maplraktik medik, formulasi pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan,  penegakan hak-hak buruh, penguatan hukum bagi anak korban eksploitasi seksual, keadilan retributif dan restoratif, hingga penanggulangan korban amuk massa dan rekonstruksi budaya hukum masyarakat nelayan;
Tulisan Akhir Prof. Tjip
Epilog buku ini tentu saja sangat penting dan menarik. Ditulis langsung oleh Prof Tjip, pada pokoknya epilog merumuskan kajian bahwa pengusahaan (beoefening) ilmu hukum di Indonesia tidak terlepas dari sekalian perkembangan yang terjadi pada sains. Dewasa ini sains mengalami perubahan-perubahan besar seiring dengan kesadaran mengenai kompleksitas kehidupan masyarakat dan manusia. Ilmu hukum tidak dapat (hanya) berdiri di luar pagar.
Menurut Prof. Tjip, adanya kelalaian komunitas keilmuan hukum, maka pola berhukum yang berorientasi pada sindrom kolonial yang berat ke legislasi tetap tidak diubah. Sesungguhnya hal demikian diam-diam membiarkan hukum adat yang seharusnya berada di pusat, tergusur ke pinggiran.
Hal lain yang sangat penting diungkap oleh Prof Tjip adalah adanya penggerogotan sosial terhadap ilmu hukum klasik, perubahan paradigma, pascamodernisme dan hukum, studi hukum kritis, ketidakteraturan hukum, titik balik dalam sains, linier ke kompleks, ilmu hukum “rule making” dan “rule breaking” dan lain-lain. Yang paling utama tentu saja adalah ditawarkan: ilmu hukum yang progresif dan kreatif, serta pendidikan hukum yang tercerahkan.
Bagi Prof Tjip, berhadapan dan dihadapkan kepada masyarakatnya, ilmu hukum Indonesia tidak dapat steril. Perkembangan dalam sains umum seharusnya membuat cara kita berhukum dan berilmu hukum menjadi lebih cerdas dan arif. “Banyak yang dapat diambil oleh ilmu hukum dari perkembangan dalam disiplin sains yang lain, demi kemajuan ilmu hukum sendiri”, ujarnya.

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...