Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Sejak pertama kali menginjakkan
kaki di Gedung Mahkamah Konstitusi Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 7 Jakarta
Pusat, pada pertengahan 2005, secara personal saya belum mengenal Dr. Harjono.
Saat itu, saya yang merupakan staf bagian penerbitan Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi, hanya mengetahui beliau adalah salah seorang Hakim
Konstitusi yang kelak kemudian akan menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dalam waktu yang singkat. Walau demikian, ketika saya ikut menjadi
bagian dalam program Mahkamah Konstitusi dan Forum Konstitusi, yaitu “Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002” pada tahun 2007
hingga 2010, saya mulai menemukan pemikiran cemerlang beliau pada saat
perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-2002. Dr. Harjono memang
merupakan anggota PAH III BP-MPR 1999, anggota PAH I BP-MPR 1999-2000, anggota PAH
I BP-MPR 2000-2001, dan anggota PAH I BP-MPR 2001-2002.
Sebagai contoh, dalam Rapat Tim Kecil PAH I tanggal 27 September
2001, Dr. Harjono menyatakan, “...Rumusan
yang saya ajukan, saya kira kita juga belajar dari apa yang dirumuskan oleh
founding fathers kita. Yaitu di dalam kata dalam Pasal 24 itu ada kata “sebuah”
sebetulnya. Sebuah Mahkamah Agung. Ini bagaimana kalau kita ambil lagi bahwa
“sebuah” itu bukan hanya artikel “a” tapi article “the” kalau bahasa Inggris
bukan “a” tapi “the”, “the” itu jelas ya, “the” itu jelas ada ada definite
article. Jadi sebuah Mahkamah Agung. Demikian juga Konstitusi ini juga the juga
bukan “a”, kalau “a” itu anyway, the ini definitif. Oleh karena itu rumusannya
adalah :“Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, dan peradilan khusus yang dibentuk dalam sebuah lingkungan peradilan,
itu bisa attached pada peradilan agama. Sekarang peradilan niaga attached pada
peradilan umum. Dia maksa masuk dengan dan peradilan khusus yang dibentuk dalam
sebuah lingkungan peradilan. Berikutnya... dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Lalu
berikutnya nanti baru bagian lain yang mengatur itu...”.
Dalam rapat lanjutan PAH I BP MPR 2001, dengan agenda pembahasan lanjutan
Bab IX Kekuasaan kehakiman, Dr. Harjono berpendapat, “...Untuk kebutuhan Mahkamah Konstitusi tidak harus kapan saja dia
menguasai hukum pada umumnya, tetapi persoalan yang dihadapi adalah kenegaraan.
Oleh karena itu mungkin persyaratan plus itu dipenuhi dan bahkan kebutuhan plus
itu bisa-bisa dimiliki oleh orang yang bukan diperlukan sebagai hakim.
Katakanlah dia ahli politik, katakanlah dia ahli kenegaraan. Di Perancis itu
secara otomatis mantan Presiden itu masuk pada Mahkamah Konstitusi, setiap
mantan Presiden masuk sebagai anggota Mahkamah Konstitusi. Jadi, kearifannya,
pengalamannya dalam kenegaraan diperlukan di dalam Mahkamah Konstitusi itu.
Oleh karena itu persyaratannya memang beda dengan persyaratan hakim dan
recruitment untuk Mahkamah Konstitusi, pengalaman-pengalaman yang lalu pada
saat kita mengisi jabatan Mahkamah Agung itu timbul persoalan. Apakah yang
dicalonkan DPR itu harus diangkat Presiden. Apakah Presiden bisa menolak.
Apakah paket itu harus sama dengan paket yang dibutuhkan. Ini menimbulkan
persoalan yang seringkali paintstaking buat kita. Oleh karena itu dibagi
sajalah hakim itu kan jumlahnya harus ganjil, tidak genap, taruh sembilan. Ya,
Majelis Hakim. Sembilan itu kita bagi saja DPR tiga, Mahkamah Agung tiga,
Presiden tiga. Tidak usah kita bicarakan yang usul siapa, terserah DPR mau
nyaring [mencari] dari mana, silakan. Dia buka recruitment caranya bagaimana,
Presiden gimana, Mahkamah Agung, kita serahkan secara eksklusif dia yang memiliki. Tapi kita jangan melihat,
kita jangan terpengaruh bahwa itu nanti pasti dibawa oleh suara politik.
Nggak!. Karena masa kerja dari hakim itu, itu lebih panjang dari masa kerjanya
Presiden. Taruhlah kita, satu contoh, calon Presiden yang dilkalahkan Bush
sekarang, karena sistim pemilihan atas fatwa supreme court, itu hakim-hakim di
supreme court di Amerika itu dulu juga hakim-hakim yang diangkat oleh masa
Bush, masa sebelum Clinton. Jadi, tidak ada relevan bahwa siapa yang mengangkat
lalu dia mendukung visi politiknya. Karena dasar putusannya adalah Konstitusi...”.
Dalam Rapat Tim Kecil, tanggal 27 September 2001, Dr. Harjono mengemukakan,
“Saya setuju bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk melakukan pengujian terhadap semua peraturan, nah ini
persoalannya nanti akan kita bicara apakah semua peraturan atau undang-undang
saja, sebagai bertentangan dengan konstitusi. Beda dari Mahkamah Konstitusi
dengan peradilan tata usaha negara meskipun nanti ada perbedaan lain, bahwa
yang diuji Mahkamah Konstitusi memang peraturan perundang-undangan jadi bukan
keputusan karena pengujiannya pengujian materiil. Oleh karena itu putusannya
nanti sebagai satu putusan sebuah lembaga yudisial, itu pernyataannya adalah
bahwa sebuah peraturan perundangan yang diuji itu dinyatakan sebagai tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Seringkali kemudian dihubungkan
dengan siapa yang harus mencabut peraturan itu. Sebetulnya kalau itu kewenangan
sudah ada pada Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan seperti itu, tidak usah harus
dilakukan perintah pencabutan, karena itulah vonis dari Mahkamah Konstitusi.
Ini bahasa Belandanya. Kemudian memang ada persoalan dengan konsistensi, apakah
ini akan melakukan peradilan secara pasif. Saya hanya membandingkan saja tapi
itu tidak berarti bahwa kita nanti harus seperti itu. Di Supreme Court, itu ada
hak untuk injunction. Jadi kalau Supreme Court itu melihat bahwa meskipun itu
diperiksa di peradilan di bawah kalau inti core persoalannya adalah persoalan
pelanggaran konstitusi, Supreme Court bisa memerintahkan jangan diperiksa, saya
ambil periksa kasus itu saya periksa. Injuction itu. Apakah itu juga akan kita
pikirkan, di sini ataukah di undang-undangnya. Karena nanti apa yang
dikhawatirkan oleh Pak Hamdan ini ada pemecahannya, jangan sampai
menunggu-nunggu terus karena akan ada aktifitas yang dilakukan secara aktif
oleh Mahkamah Konstitusi.”
Dalam
Rapat Pleno ke-38 PAH I BP MPR tanggal
10 Oktober 2001, Dr. Harjono menyatakan, “...Kita sudah sepakat bahwa Mahkamah Konstitusi itu mempunyai suatu
tugas yang punya ciri khas yang beda dengan Mahkamah Agung, dengan rumusan yang
sudah kita buat pada 24(a) ayat 2 itu sebetulnya saya lihat kewenangan utamanya
Mahkamah Konstitusi kalau kita bandingkan juga dengan Mahkamah Konstitusi yang
lain adalah yang menyangkut pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar dan memutuskan perselisihan kewenangan kompetensi antar Lembaga, itu
sebetulnya utamanya. Karena dua persoalan ini, itu diputuskan dengan hanya
melakukan persidangan melihat hukumnya, tidak ada fakta. Mahkamah Konstitusi
hanya melihat mana Undang-Undangnya, kemudian undang-undang itu dipelajari lalu
ditoetsing dengan Undang-Undang Dasar apakah di situ ada pertentangan atau
tidak terhadap Peraturan-Peraturan di bawah Undang-Undang Dasar dengan
Undang-Undang.”
Dalam Rapat Komisi A ke-3 (Lanjutan) MPR, 6 November 2001, Dr. Harjono
berpendapat, “Persoalan kemudian Mahkamah
Konstitusi diberi wewenang tambahan yaitu wewenang untuk melakukan impeachment.
Sebetulnya ada terkandung maksud bahwa proses untuk menjatuhkan Presiden dengan
sistem yang lama, itu masih dalam batas antara mosi tidak percaya ataukah
proses hukum. Oleh karena itu dengan sistem impeachment, institusi ini secara
tegas, fixed term yang diberikan kepada Presiden itu hanya boleh diganggu dalam
keadaan luar biasa di mana Presiden secara pribadi melakukan
perbuatan-perbuatan melanggar hukum. Oleh karena itu dalam impeachment
sebetulnya ada tiga persoalan, maaf harus saya bahas karena harus menjelaskan
juga dengan posisi Mahkamah Konstitusi. Dalam proses impeachment itu ada tiga
persoalan. Persoalan atau issue of fact faktanya, issue of law atau hukumnya,
dan political process atau proses politiknya. Itu kemudian kita berikan kepada
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi akan memeriksa kalau DPR beranggapan
atau ada dugaan bahwa Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum.
Pemeriksaannya bagaimana? Pemeriksaannya secara yudisial, kalau terbukti,
dengan terbukti ada putusan dari Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden melakukan
perbuatan sebagaimana yang dituduhkan, lalu diserahkan kepada political
process. Political process-nya kepada MPR apakah dia akan diberhentikan atau
tidak, apakah dia terbukti melakukan korupsi, tapi korupsinya kira-kira bolehlah
seratus juta, apakah seratus juta itu alasan kuat untuk menurunkan. That’s all,
itu bukan persoalan hukum lagi tapi political process. Jadi dengan Mahkamah
Konstitusi kemudian dihubungkan dengan impeachment yang terpaksa ditaruh di
dalam Pasal 7, itu hubungannya adalah untuk memperkuat sistem presidensial juga.”
Dalam Rapat Komisi A ke-3 (Lanjutan) MPR, 6 November 2001 tersebut, Dr.
Harjono juga mengemukakan, “...Sebagai
hukum yang tertinggi maka harus digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur apakah
peraturan perundang-undangan yang di bawahnya konsisten tidak dengan hukum yang
tertinggi itu. Mekanismenya melalui Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi
tidak mengadili orang, tidak mengadili Presiden, tapi mengadili, menguji
produk. Oleh karena itu, kalau Mahkamah Konstitusi hakimnya diangkat oleh
Presiden, nanti jangan-jangan membela Presiden, tidak mengadili orang tetapi
mengadili produk, produknya bisa peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang dan di bawahnya. Oleh karena itu ada kebutuhan pemikiran bahwa
Peraturan Daerah pun itu kalau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar itu bisa
dilakukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi...”.
Dalam Rapat PAH I BP MPR ke-14 tanggal 10 Mei 2001, Dr. Harjono
menyatakan, “... yang juga menjadi pertanyaan
adalah satu hal yaitu tentang kedudukan dari Komisi Yudisial. Komisi Yudisial
disebut komisi independen. Tetapi kalau saya lihat ternyata tidak independen
juga. Karena akhirnya tergantung kepada siapa, bagaimana Dewan Perwakilan
Rakyat menyetujui. Kemudian juga tergantung kepada Presiden, siapa yang
ditunjuk. Lalu independennya di mana. Karena kalau prosesnya seperti ini
ternyata Komisi Yudisial hanya menyaring mengajukan calon saja kenapa untuk
proses seperti itu sudah diberi embel-embel sebagai sebuah Komisi Yudisial yang
independen. Saya berharap lebih dari itu sebenarnya terhadap wewenang yang
diberikan kepada Komisi Yudisial.”
Dalam Rapat PAH I BP MPR Ke-38 tanggal 10 Oktober 2001, Dr. Harjono
berpendapat, “Dalam kaitan dengan ini,
karena kita juga mengintrodusir satu lembaga baru yang namanya Komisi Yudisial,
tentu juga ada persoalan. Apakah juga Komisi Yudisial tidak kita tempatkan
dalam posisi untuk juga ikut menentukan dalam komposisi rekruitmen Hakim Agung
itu, karena ada satu negara sebagai komparasi saja, di mana Komisi Yudisial ini
tidak saja mengangkat sebenarnya tapi juga mempunyai kewenangan untuk promosi
Hakim-hakim. Jadi begitu luas. Ini juga menyangkut pada persoalan akan kita
posisikan Komisi Yudisial ini sebagai sebuah Komisi Ad Hoc ataukan sebuah
komisi permanen, ini juga menjadi persoalan. Oleh karena itu, kita juga masih
harus memikirkan kembali hubungan antara Komisi Yudisial dengan Hakim-hakim
yang akan ditugaskan didalam Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan yang ada
dibawahnya. Saya sangat setuju, kalau kewenangan mengesahkan Hakim Agung itu
ada ditangan presiden, jangan ditangan MPR karena kalau kita nanti butuh Hakim
Agung padahal barangkali hanya untuk mengisi beberapa pos, MPR harus bersidang
untuk itu. Oleh karena itu, kalau Komisi Yudisial ini menjadi sebuah komisi
yang permanen dan dia kita percaya untuk memilih mekanisme yang baik bagaimana,
presiden tinggal mengesahkannya saja. Ini kalau kita akan berbicara menghindari
pengaruh presiden pada pengangkatan Hakim-hakim Agung. Jadi Komisi Judisial ini
yang independen kita buat independen lalu dia menyaring, atas saringannya itu
kemudian disahkan presiden menjadi hakim agung, presiden hanya mengesahkan
saja. Tidak mungkin kalau tidak tahu nama Pak, karena disahkan mesti nama, ini
persoalan Mahkamah Agung. ... Yang lain menyangkut persoalan tadi Komisi
Yudisial, memang Komisi Yudisial menurut saya perlu ada suatu pengkajian yang
lebih mendalam, apakah ini hanya berlaku pada hakim-hakim diatas, Mahkamah
Agung atau juga hakim-hakim pada tingkat bawahannya. Ini juga satu pengkajian
sendiri untuk persoalan Komisi Yudisial.”
Dalam Rapat Pleno Ke-36 PAH I BP MPR, Rabu, 26 September 2001, Dr.
Harjono berpendapat, “Pada persoalan
rekruitmen Hakim, Komisi Yudisial memang dalam ketentuan itu masih terbatas
untuk menseleksi calon-calon Hakim Agung, satu pertanyaan kalau Hakim Agung
sekarang itu sudah ada kemungkinan masuknya non karier, pertanyaan berikutnya
kenapa itu hanya pada Hakim Agung saja, pada Hakim Tinggi dan pada Hakim
tingkat pertama apa juga tidak dibuka mekanisme seperti itu, apa bedanya
sebetulnya. Menurut saya, titik yang paling kritis sebetulnya bukan di MA,
sebetulnya di Pengadilan Tingkat I dan Tingkat II, kalau Pengadilan Tingkat I
dan Tingkat II keadilan sudah dirasakan itu harus kasasi itu bisa dikurangi.
Oleh karena itu, bicara tentang persoalan Komisi Yudisial, barangkali mulai
kita pikirkan apakah juga ini tidak kita gunakan untuk mengubah cara rekruitmen
Hakim kita. Yang pertama dia ingin cari pekerjaan nyangkut di Pegawai Negeri,
setelah menjadi Pegawai Negeri tidak masuk Panitera kebetulan dia masuk sebagai
Hakim, ini semua kita hilangilah semacam itu. Oleh karena itu profesi Hakim
seharusnya memang diniatkan sebagai Hakim.
Di luar negeri untuk jadi Hakim
dari Pengacara bisa, karena dia konsisten dengan pendapat-pendapatnya, ini
pantas untuk menjadi seorang Hakim, tetapi di sini Hakim harus menjadi Pegawai
Negeri dari masuk Hakim sampai Pensiun Hakim itulah ladangnya, barangkali untuk
masa jabatan Hakim juga kita batasi tidak usah dari masuk sampai Pensiun, Hakim
diberikan tertentu saja mungkin 5 (lima) tahun setelah itu dikembalikan lagi
kepada Komisi Yudisial, kalau dia ingin jadi Hakim lagi, apakah dia masih
pantas untuk bisa diterima menjadi Hakim
atau tidak, ini saya kira juga berhubungan dengan rekruitmen, ada
persoalan-persoalan keterbukaan, ada persoalan-persoalan aset stabilitas pada
dunia hukumnya, juga ada persoalan-persoalan kapabilitas yang dipertimbangkan
ketimbang rekruitmen pada sekarang ini. Jadi itulah pendapat saya tentang
Komisi Yudisial. Ini saya kembali pada persoalan recruitment hakim. Komisi Yudisial
memang dalam ketentuan itu masih terbatas untuk menseleksi calon-calon Hakim
Agung. Satu pertanyaan, kalau Hakim Agung sekarang itu sudah ada kemungkinan masuknya
non karier, pertanyaan berikutnya kenapa itu hanya pada Hakim Agung saja, pada
hakim tinggi dan pada hakim tingkat pertama kenapa juga tidak dibuka mekanisme seperti
itu? Apa bedanya sebetulnya? Menurut saya, titik yang paling kritis sebetulnya
bukan di Mahkamah Agung, justru di Pengadilan Tingkat I dan Tingkat II. Kalau
Pengadilan Tingkat I, Tingkat II itu keadilan sudah dirasakan, itu harus kasasi
itu bisa dikurangi. Oleh karena itu, bicara tentang persoalan Komisi Yudisial,
barangkali juga mulai kita pikirkan. Apakah juga ini tidak kita gunakan untuk
cara mengubah recruitment hakim kita. Yang pertama dia hanya ingin cari
pekerjaan, kok nyangsang, apa itu basa Jawa nyangsang, kok nyangkut di Pegawai
Negeri, setelah nyangkut di Pegawai Negeri tidak masuk Panitera, kok kebetulan
dia masuk sebagai hakim. Ini semua kita hilangi lah semacam itu. Oleh karena
itu profesi hakim seharusnya memang diniatkan sebagai kepingin jadi hakim. Di
luar negeri untuk jadi hakim, dari Pengacara bisa. Karena dia konsisten dengan
pendapat-pendapatnya, o… ini pantas untuk jadi seorang hakim. Tetapi di sini
hakim harus menjadi pegawai negeri. Dari masuk hakim sampai pensiun hakim, ya
itulah ladangnya. Barangkali masa jabatan hakim juga kita batasi tidak usah dari masuk sampai
pensiun. Hakim diberi terms tertentu saja, mungkin lima tahun, setelah itu dikembalikan
lagi kepada Komisi Yudisial, kalau dia ingin jadi hakim lagi. Apakah dia masih
pantas untuk bisa diterima jadi hakim atau tidak. Ini saya kira juga berhubungan
dengan recruitment, ada persoalan-persoalan keterbukaan, ada persoalan-persoalan
akseptabilitas pada dunia hukumnya, juga ada persoalan-persoalan kapabilitas
yang dipertimbangkan, ketimbang recruitment seperti sekarang ini. Jadi, itulah pendapat
saya tentang Komisi Yudisial sekaligus mengenai Mahkamah Konstitusi, sebetulnya
bisa mengubah tatanan kita, terutama kalau kita bicara tentang bagaimana menegakkan
rule of law ini, kita mulai dari mana. Tentunya juga institusi punya sumbangan
besar dengan sistimnya yang terbuka itu.”
Dalam Rapat Pleno Ke-38 PAH I BP MPR, Dr. Harjono berpendapat, “Saya sampaikan beberapa hal, untuk
kesempatan membahas pasal-pasal yang masih berhubungan dengan Kekuasaan
Kehakiman. Pertama agaknya masih harus memposisikan kembali keberadaan
masing-masing institusi yang barangkali akan kita sebut di dalam
Ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan Kehakiman ini. Pertama Mahkamah Agung, di
dalam Ketentuan hasil kita yang lama, bahwa Hakim itu, Mahkamah Agung akan
diangkat melalui Lembaga MPR. Dalam kaitan dengan ini, karena kita juga
mengintrodusir satu lembaga baru yang namanya Komisi Yudisial, tentu juga ada
persoalan. Apakah juga Komisi Yudisial tidak kita tempatkan dalam posisi untuk
juga ikut menentukan dalam komposisi rekruitmen Hakim Agung itu, karena ada
satu negara sebagai komparasi saja, di mana Komisi Yudisial ini tidak saja mengangkat sebenarnya tapi juga
mempunyai kewenangan untuk promosi Hakim-hakim. Jadi begitu luas. Ini juga
menyangkut pada persoalan akan kita posisikan Komisi Yudisial ini sebagai
sebuah komisi Ad Hoc ataukan sebuah komisi permanen, ini juga menjadi
persoalan. Oleh karena itu, kita juga masih harus memikirkan kembali hubungan
antara Komisi Yudisial dengan Hakim-hakim yang akan ditugaskan didalam Mahkamah
Agung dan Lembaga Peradilan yang ada di bawahnya. Saya sangat setuju, kalau
kewenangan mengesahkan Hakim Agung itu ada di tangan presiden, jangan di tangan
MPR karena kalau kita nanti butuh Hakim Agung padahal barangkali hanya untuk
mengisi beberapa pos, MPR harus bersidang untuk itu. Oleh karena itu, kalau
Komisi Yudisial ini menjadi sebuah komisi yang permanen dan dia kita percaya
untuk memilih mekanisme yang baik bagaimana, presiden tinggal mengesahkannya
saja. Ini kalau kita akan berbicara menghindari pengaruh presiden pada
pengangkatan Hakim-hakim Agung. Jadi Komisi Judisial ini yang independen kita
buat independen lalu dia menyaring, atas saringannya itu kemudian disahkan
presiden menjadi hakim agung, presiden hanya mengesahkan saja. Tidak mungkin
kalau tidak tahu nama Pak, karena disahkan mesti nama, ini persoalan Mahkamah
Agung. Kemudian Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi ada
persoalan-persoalan yang menyangkut rekruitmen hakim. Kita sudah sepakat bahwa
Mahkamah Konstitusi itu mempunyai suatu tugas yang punya ciri khas yang beda
dengan Mahkamah Agung, dengan rumusan yang sudah kita buat pada 24A ayat 2 itu
sebetulnya saya lihat kewenangan utamanya Mahkamah Konstitusi kalau kita
bandingkan juga dengan Mahkamah Konstitusi yang lain adalah yang menyangkut
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan memutuskan
perselisihan kewenangan kompetensi antar Lembaga, itu sebetulnya utamanya.
Karena dua persoalan ini, itu diputuskan dengan hanya melakukan persidangan
melihat hukumnya, tidak ada fakta. Mahkamah Konstitusi hanya melihat mana
undang-undangnya, kemudian undang-undang itu dipelajari lalu di toetsing dengan
Undang-Undang Dasar apakah disitu ada pertentangan atau tidak terhadap
Peraturan-Peraturan di bawah Undang-Undang Dasar dengan undang-undang. Demikian
juga tentang kewenangan. Sedangkan yang kedua, kewenangan kedua berikutnya:
memutuskan pembubaran partai politik dan memutuskan perselisihan tentang hasil
nPemilihan Umum, ini pasti perlu pemeriksaan issues of fact, ada fakta untuk
diperiksa apakah benar partai politik telah melakukan ini itu, ini beda. Oleh
karena itu kewenangan utamanya sebetulnya ada yang pada toetsing dan
pertentangan kewenangan antar Lembaga Tinggi Negara. Oleh karena itu tugas ini
memang memerlukan variasi yang beda yang tidak bisa kita samakan saja. Didalam
hal inilah kewenangan saya bisa bedakan: kewenangan yang asli dan kewenangan
tambahan, meskipun Konstitusi yang memberikan. Saya sepakat untuk ini dibatasi
saja tidak akan ada kewenangan lain yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi
lewat Undang-Undang. Cukup ini dua macam yang ada di Pasal 24A ini. Tentang
hakim, Mahkamah Konstitusi, persoalannya adalah kriteria yang ditentukan memang
beda dengan kriteria hakim Mahkamah Agung. Oleh karena itu rekruitmennya
menurut fraksi kami cukup didistribusikan saja. Presiden jatahnya 3, DPR
jatahnya 3, Mahkamah Agung jatahnya 3, sudah beres. Terserah nanti bagaimana
rekruitmennya harus digunakan dengan cara-cara terbuka. Setelah terpilih,
sembilan itu, kemudian ditetapkan atau disahkan oleh presiden jadi hakim-hakim
Mahkamah Konstitusi, sembilan-sembilan itu. Ketua dan Wakil Ketua dipilih
diantara sembilan itu. Jadi memang Mahkamah Konstitusi adalah separate body
dari Mahkamah Agung. Kita memang punya model, 2 model. Model trias politica,
everything (sesuatu) pasti di bawah kekuasaan judisial Amerika, oleh karena itu
supreme court adalah menguji. Tapidi Eropa, dengan model Eropa bukan supreme
court yang menguji tapi Mahkamah Konstitusi yang sama sekali berbeda. Indonesia
ini kan bentuknya konstitusinya Amerika tapi hukumnya Belanda, kan begitu.
Pelaksanaan Indonesia. Jadi saya kira untuk hukum substansinya, Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung dipisahkan masing-masing tidak dijabat oleh ex
officio tadi. Saya juga sampaikan barangkali kita bisa pikirkan bahwa hukum
acaranya serahkan saja pada hakim-hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengatur
sendiri asal kewenangannya jelas, tidak usah dengan undang-undang, karena sudah
ada di konstitusi. Jadi ini supaya kita bisa melihat bahwa begitu Undang-Undang
Dasar ini yang memuat Mahkamah Konstitusi di undangkan, Presiden milih 3, DPR 3, Mahkamah Agung 3,
lalu diangkat presiden bisa bekerja langsung, tidak usah harus menunggu
undang-undang. Yang lain menyangkut persoalan tadi Komisi Yudisial, memang
Komisi Yudisial menurut saya perlu ada suatu pengkajian yang lebih mendalam,
apakah ini hanya berlaku pada hakim-hakim di atas, Mahkamah Agung atau juga
hakim-hakim pada tingkat bawahannya. Ini juga satu pengkajian sendiri untuk
persoalan Komisi Yudisial.”
****
Berbagai kutipan tersebut yang diambil
dari Buku Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV, Kekuasaan Kehakiman (2010)
dengan penulis Wiwik Budi Wasito, Ardli Nuryadi, Luthfi Widagdo Eddyono, dan
Dodi Haryadi menunjukkan betapa banyak ide-ide Dr. Harjono yang kemudian
tercakup dalam perubahan UUD 1945 khususnya tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain
itu, banyak sekali ide-ide menarik yang tercetus dari Dr. Harjono yang menurut
saya patut pula dikaji secara akademis karena masih kontekstual hingga
sekarang, seperti:
1. Syarat
Hakim konstitusi tidaklah harus ahli hukum pada umumnya, tetapi juga harus yang
menguasai ilmu kenegaraan, seperti ahli politik;
2. Masa
kerja hakim konstitusi harus lebih panjang dari masa kerja Presiden (atau
lembaga yang menunjuknya) agar independensi hakim dapat terjaga;
3. Mahkamah
Konstitusi dapat menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang;
4. Komisi
Yudisial juga diberi kewenangan dalam rekrutmen dan promosi hakim yang berada
di bawah Mahkamah Agung. Hakim tersebut diberi batasan waktu jabatan, setelah
itu dapat diseleksi ulang oleh Komisi Yudisial untuk menjaga akseptibilitas dan
kapabilitas;
5. Hasil
rekrutmen calon Hakim Agung dari Komisi Yudisial langsung diserahkan kepada
Presiden untuk pengesahan, sehingga tidak melalui DPR;
Berbagai ide dan pemikiran
tersebut, menurut saya, sangat dipengaruhi dengan latar belakang keilmuan
beliau, khususnya ketika bersekolah di Amerika, mengingat banyak contoh yang
dikemukakan didasarkan perbandingan hukum dengan pengalaman Amerika Serikat.
Dr. Harjono adalah lulusan Southern Methodist University (SMU), Dallas, Texas
bersama-sama Prof. Bagir Manan. Bahkan pada tahun 2012, beliau mendapatkan Distinguished Global Alumni Award dari SMU.
Tentu saja berbagai pemikiran
tersebut dapat juga dikaitkan dengan kiprah Dr. Harjono selama menjadi hakim
konstitusi dalam dua periode (10 tahun). Para pengkaji dan peneliti tentu dapat
menghubungkan konfigurasi pemikiran Dr. Harjono sejak menjadi perumus perubahan
UUD hingga menjadi salah seorang “penafsir utama” UUD 1945 dalam forum Mahkamah
Konstitusi.
Akhirnya saya kemudian mendapat
kesempatan berinteraksi secara langsung dengan beliau karena saya dan Pan
Mohammad Faiz kemudian ditunjuk mendampingi Dr. Harjono dan Prof. Achmad Sodiki,
serta menjadi bagian dari delegasi Mahkamah Konstitusi RI dalam the 6th
Regional Conference of Asian Constitutional Court Judges “Constitutional Courts
and Separation of Powers” di Ulaanbaatar, Mongolia dan pertemuan dengan Zhao
Daguang, Chief Judge of Administrative Division Supreme People’s Court,
People’s Republic of China di Beijing, China pada September 2009. Hingga saat
ini, saya juga sering berinteraksi dengan beliau karena saya menjadi Panitera
Pengganti sejak 2010 dan kerap berdiskusi masalah-masalah hukum dan tata
negara.
Kesan saya sejak saat itu hingga
sekarang, Dr. Harjono adalah seorang tokoh yang baik, cerdas, percaya diri, dan
egaliter. Sepertinya pendidikan dan pengalaman beliau yang luas tidak hanya di
dalam negeri dan luar negeri memberikan corak tersendiri pada pembawaan beliau.
Untuk seorang Indonesia pada umumnya, beliau berpostur tinggi dan tegap, dan
bila berbicara terbentuk sikap yang mengajak berdiskusi isu apapun tanpa
berusaha menggurui siapapun. Bagi beliau, tua atau muda sama saja, yang
terpenting keinginan lawan bicara untuk mau mendiskusikan permasalahan yang
dihadapi.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini
dengan mengutip Lu Xun (1989), “Setelah
pesta pertengahan musim gugur, angin semakin terasa dingin, musim dingin akan
segera tiba. Meski aku menghabiskan waktuku sepanjang hari di depan perapian,
aku masih harus mengenakan jaket. Suatu sore, ketika kedai telah kosong, aku
duduk dengan mata terpejam dan mendengar suara: ‘Panaskan semangkuk anggur!’”.
Terima kasih Bapak Harjono atas pengabdian Bapak di Mahkamah Konstitusi, baik
pada masa kejayaan hingga kejatuhannya sekarang ini. Bagi saya, kehadiran bapak
selalu memberi inspirasi.
Jakarta, 6 Maret 2014,
Luthfi Widagdo Eddyono
Comments