Skip to main content

Resensi: Menuju Konsolidasi Demokrasi Konstitutional


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Judul Buku: Democratic Constitutionalism, New Constitutionalism for the Emerging of New Democracy: The Case of Indonesia
Penulis: Munafrizal Manan
Penerbit: Setara Press
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman: viii + 86.

Kelebihan utama buku ini adalah ditulis dalam bahasa Inggris. Kelebihan lain buku ini adalah naskahnya berasal dari sebuah tesis yang telah dipertanggungjawabkan secara akademis di sebuah sekolah tinggi yang prestisius, yaitu Melbourne University. Selain itu, secara substansi, isu yang dikemukakan adalah isu yang sangat kontekstual dengan kondisi Indonesia saat ini yang pastinya ingin juga diketahui dan dipahami oleh pengamat demokrasi dan hukum dari luar negeri. Karenanya naskah buku ini sangat penting untuk dipublikasikan untuk menjelaskan kepada para Indonesianis atau pihak luar yang memiliki kepentingan terhadap Indonesia mengenai perkembangan dan kemajuan demokrasi di Indonesia.

Sejak runtuhnya rezim orde baru dan dilakukannya perubahan UUD 1945 dalam empat tahap sejak 1999 sampai 2002, Indonesia jelas telah mengalami perubahan sistem ketatanegaraan secara drastis dan menyeluruh. Penguatan sistem presidensialisme yang dibarengi dengan upaya meneguhkan sistem  checks and balances merupakan bagian dari ciri reformasi konstitusi Indonesia. Akan tetapi yang terpenting dari perubahan dan perbaikan sistem konstitusional Indonesia saat ini adalah prinsip demokrasi yang berlandaskan hukum (democratic constitutionalism)  yang seharusnya menjadi roh dalam pengaturan dan penyelenggaraan negara oleh masing-masing lembaga negara, baik dari lembaga negara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Prinsip Indonesia sebagai negara demokrasi yang berlandaskan hukum memang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Walau demikian, pada hakikatnya, konsep Indonesia adalah negara hukum dapat ditemukan pada konstitusi Indonesia yang pernah berlaku. Penjelasan UUD 1945 sebelum Perubahan berbunyi, “Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)”. Pasal 1 ayat (1) Konstitusi Republik Indonesia Serikat berbunyi, “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”. Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 berbunyi, “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.

Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum (rechtsstaat) tersebut mencakup empat elemen penting, yaitu pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, negara didasarkan pada teori Trias Politica, pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur), dan peradilan tata usaha negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). Gagasan negara hukum ini dinamakan negara hukum formil karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang. Bagi Jimly Asshiddiqie, paling tidak dapat dikatakan terdapat 12 prinsip negara hukum, yaitu supremasi konstitusi (supremacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan (limitation of power), organ pemerintahan yang independen, peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata Usaha Negara (administrative court), Peradilan Tata Negara (constitutional court), perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis (democratische-rehtsstaats), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta transparansi dan kontrol sosial.

Terkait dengan kajian tersebut, buku ini terdiri atas lima bagian. Bagian pertama akan menerangkan mengenai latar belakang pembelajaran dan pengkajian yang dilakukan oleh Munafrizal Manan dalam penyusunan tesis yang telah dibukukan ini. Tentu saja didasari keinginannya untuk meneliti pentingnya prinsip-prinsp demokrasi dan konstitusionalisme dan kelanjutannya bagi Indonesia yang sedang berada di masa transisi menuju demokrasi konstitutional yang terkonsolidasi.

Bagian kedua menceritakan sejarah hukum prinsip demokrasi dan konstitusionalisme di Indonesia. Diuraikan adanya empat fase konstitusional, yaitu 1945-1949, 1949-1950, 1950-1959, dan 1959-1999. Kemudian narasi dilanjutkan pada bagian ketiga yang menjelaskan dengan rinci dan runtut reformasi konstitusi pada tahun 1999-2002 berupa substansi dan proses perubahan UUD 1945 hingga naskah asli UUD 1945 yang awalnya hanya berisi 71 butir ketentuan, setelah empat kali perubahan, materi muatan UUD 1945 lalu mencapai 199 butir ketentuan. Bagian keempat yang tak kalah pentingnya adalah kajian analistis upaya menuju negara hukum yang demokratis. Pada bagian ini, Munafrizal Manan mencermati peran Mahkamah Konstitusi secara ringkas dalam pembangunan sistem ketatanegaraan menuju negara hukum yang demokratis. Keberadaan Mahkamah Konstitusi memang diperlukan dalam upaya melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan sebagai pengawal demokrasi dan konstitusi.

Bagian kelima, adalah bagian yang terpenting karena pada bagian ini Munafrizal Manan sedang melakukan prediksi atas prospek konsolidasi demokrasi konstitusional di Indonesia. Kesimpulannya, terkonsolidasinya demokrasi konstitusional di Indonesia akan sangat bergantung kepada elit politik karena terbukti sejak awal berdirinya republik ini, elit politik lah yang paling berperan untuk mengubah sistem ketatanegaraan kita. Dengan demikian, menurut Munafrizal Manan, pendapat Herbeth Feith kala dia mendiskusikan demokrasi konstitusional di Indonesia pada tahun 1950-an masihlah relevan. Herbet Feith (1962) memang mengatakan, “[t]he system could be expected to last as long as power remained dispersed and as long as personal ties within the political elite remained strong enough to bridge conflicts of interests and ideology”.

Oleh karena itu, buku ini sangat penting untuk dijadikan referensi bagi pengamat politik dan ilmuwan hukum karena analisisnya menggabungkan dasar keilmuan politik dan irisannya dengan ilmu hukum.

#Telah dimuat di Majalah Konstitusi, 2014


Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...