Oleh
Luthfi Widagdo Eddyono
Lahir di Singasari Malang
pada tanggal 30 Desember 1902, Kiai Haji Masjkoer (dalam ejaan baru menjadi
Masykur) merupakan tokoh politik dan pergerakan islam yang gigih. Kegigihannya
tersebut kemudian dimunculkan dalam pembahasan mengenai rancangan Undang-Undang
Dasar (UUD) dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 15 Juli 1945.
Dimulai dari pembahasan
pasal-pasal dalam rancangan UUD, ketika diberi kesempatan berbicara, KH. Masjkoer
meminta agar terdapat konsistensi dalam rancangan Pasal 7 yang menyebutkan,
Presiden harus bersumpah menurut agamanya, padahal berdasarkan UUD ada
kewajiban umat islam untuk menjalankan syariat islam untuk pemeluk-pemeluknya.
Saat itu, Piagam Jakarta masih ada dan termaktub “Ketoehanan,
dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek2-nja”, demikian pula dengan
draft pada Pasal 28. Karenanya, KH. Masjkoer kemudian mengusulkan kalau presiden
tidak ditentukan orang islam, maka yang tertulis dalam Pasal 28 yang
memaktubkan wajib menjalankan syariat islam kepada pemeluk-pemeluknya diganti
dengan kalimat, “Agama resmi bagi Republik Indonesia adalah agama islam.”
Selengkapnya KH. Masjkoer menyatakan, “Yang saya maksud ialah tentang apa yang tersebut di dalam Undang-undang
Dasar, bahwa dalam Republik Indonesia adalah kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Lalu saya membaca di dalam rancangan
Undang-undang Dasar ini, ialah yang terdapat di dalam pasal 7, bahwa Presiden
harus bersumpah menurut agamanya. Di situ nyata terang, bahwa Presiden itu
orang beragama apa saja boleh. Dengan demikian, maka saya pikir keadaan begini;
kalau di dalam Republik Indonesia ada kewajiban menjalankan syariat Islam untuk
pemeluk-pemeluknya, padahal Republik Indonesia ada dikepalai oleh orang
beragama lain daripada Islam, umpam'anya: apakah keadaan itu dapat dijalankan
dengan baik, atau apakah umumnya golongan Islam dapat menerimanya, dan apakah demikian
itu tidak jahat? Inilah menurut faham kami dua perkara yang menjadi soal kita.
Soal itu kalau dilangsungkan, menjalar menjadi pertentangan.”
Lebih lanjut, KH. Masjkoer mengusulkan, “maka menurut faham kami 2 buah pasal yang bertentangan itu dengan
gampang dapat diselesaikan; kalau mungkin begitu, maka kita sekalian dengan
dasar itu menerimanya seikhlas-ikhlasnya. Di antara satu dari 2 pasal itu
diberi sedikit perubahan. Pertama: kalau Presiden tidak ditentukan orang Islam,
maka yang tertulis di dalam pasal 28, yang berbunyi "Wajib menjadikan
syariat Islam kepada pemeluk-pemeluk" diganti saja dengan kalimat
"Agama resmi bagi Republik Indonesia ialah agama Islam". Bahkan
faham itu lebih ringan, karena tidak ditulis, bahwa ia memikul kewajiban,
tetapi hanya mengakuinya sebagai halnya ia mengakui lain-lain agama. Tentang
caranya, saya rasa lebih mudah, apabila dalam salah satu di antara dua pasal
itu, diadakan perubahan ialah ditentukan dalam pasal 7, bahwa Presiden harus
orang Islam atau ayat di dalam pasal 28 diganti.”
Pernyataan tersebut direspon oleh Soekarno dengan menggunakan logika
kalau pemeluk islam yang terbesar jumlahnya maka Presiden akan besar juga
kemungkinannya islam, termasuk dalam pembuatan undang-undang tentu akan
terlihat roh keislamannya. Soekardjo Wirjopranoto juga merespon usulan KH.
Masjkoer. Menurut Wirjopranoto, Pasal 27 telah menyatakan, “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan”. Dengan demikian, di
dalam negara Indonesia tidak ada kelas-kelas yang mencerminkan keadilan.
Konsekuensi dari keadilan itu, tiap-tiap warga Indonesia berhak juga menempati
kedudukan Presiden Republik Indonesia.
Perdebatan kemudian mengemuka, hingga harus ditunda sampai esok hari pada
rapat tanggal 16 Juli 1945. Pada rapat tersebut, Soekarno diberi kesempatan
untuk berbicara terlebih dahulu. Dalam pidatonya, Soekarno meminta kaum
kebangsaan untuk menerima clausule bahwa
Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama islam seiring
dengan Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan, “Negara
berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya.” Kemudian Ketua Radjiman meminta mufakat, akan tetapi tiga
orang bangsa Tiong Hoa menunjukkan tidak mufakat.
Usulan KH. Masjkoer bila klausula Presiden harus orang islam tidak
dipenuhi, maka harus ditentukan "Agama
resmi bagi Republik Indonesia ialah agama Islam" tidaklah terlaksana
karena forum pada rapat tanggal 16 Juli 1945 menyepakati “Presiden ialah orang
Indonesial asli yang beragama islam”. Walau demikian KH. Masjkoer sempat
mencetuskan ide yang menjadi cita-cita para tokoh islam saat itu, bahkan hingga
saat ini.
KH. Masjkoer setelah kemerdekaan Indonesia juga tetap aktif dengan
paradigma keislamannya. Berdasarkan laman Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Malang (http://www.fkipunisma.ac.id/), KH. Masjkoer langsung terlibat
dalam dunia kemiliteran, politik, dan ketika menangani dunia pendidikan, yaitu
menjadi Ketua Yayasan Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Dewan Kurator Perguruan
Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ).
Di bidang militer, KH. Masjkoer adalah pendiri sekaligus sebagai Panglima
Barisan Sabilillah yang memiliki divisi di 14 provinsi untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Dalam dunia politik, selain pernah menjadi anggota Syou
Sangkai (DPRD) sebelum masa kemerdekaan, KH. Masjkoer merupakan anggota BPUPK/PPKI
dan anggota Konstituante. Bahkan, KH. Masjkoer juga pernah ditunjuk menjadi
Menteri Agama di masa Kabinet Amir Syarifuddin ke-2, Kabinet Hatta-2, Kabinet
RI peralihan, dan kabinet Ali-Wongso-Arifin.
Menurut republika.co.id, di masa pemerintahan Orde Baru, KH. Masjkoer
terpilih menjadi Ketua Sarekat Buruh Muslimin Indonesia, lembaga yang di bawah
naungan NU. Ketika NU bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), KH.
Masjkoer terpilih menjadi Ketua Fraksi PPP di DPR yang saat itu sedang membahas
RUU Perkawinan. Dia juga dipercaya menjadi Wakil Ketua DPR RI pada 1978-1983. Karya
terakhir yang diupayakan adalah mendirikan Universitas Islam Sunan Giri Malang.
KH. Masjkoer wafat pada 19 Desember
1992. Beliau merupakan penerima Bintang Mahaputra Adipradana, Bintang Gerilya,
Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan Tanda Penghargaan Perintis
Kemerdekaan.
Bibliografi:
- 1998.
(Penyunting: Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sekretariat Negara Republik Indonesia: Jakarta.
- [http://www.fkipunisma.ac.id/rubrik-tokoh/kh-masykur-pendiri-unisma-dan-pejuang-konsisten]
diakses pada 15 Juli 2014.
- [http://www.republika.co.id/berita/shortlink/34408]
diakses pada 15 Juli 2014.
#Telah dimuat di Majalah Konstitusi 2014.
Comments