Skip to main content

Laksamana Muda Maeda: Militer Jepang Pecinta Indonesia Merdeka


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

               
Rear Admiral Tadashi Maeda atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Laksamana Muda Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang sangat berjasa bagi proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Bahkan sebelum dia berkontribusi menyediakan kediamannya di Jalan Miyako-Doori 1, Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat) bagi para pemimpin Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan (sekaligus memberi perlindungan bagi para aktivis kemerdekaan), Maeda yang sejak tahun 1942 telah menjabat di Indonesia sebagai perwira penghubung antara angkatan darat (Riku) dan angkatan laut (Kaigun) sempat “mendirikan” suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi para pelajar terpilih (Soerojo, 1988:16; Mrazek, 1994:249).

Lahir pada 3 Maret 1898 di Kogoshima, Kyushu Jepang yang  juga tempat kelahiran Laksamana Togo yang terkenal karena mengalahkan armada Rusia dalam Perang Jepang-Rusia (1905), Maeda pernah menjadi atase militer Jepang di Den Haag, Belanda dan Jerman pada masa sebelum perang. Karenanya, pantas dipahami simpatinya terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia dimungkinkan mulai timbul sejak saat dia bertugas di Belanda tersebut. Apalagi saat itu, Maeda juga kerap berhubungan dengan sejumlah tokoh pelajar dan mahasiswa Indonesia, seperti Achmad Soebardjo yang kelak akan menjadi Menteri Luar Negeri Pertama Indonesia.  

Achmad Soebardjo lah bersama Wikana yang menjadi penggerak Asrama Indonesia Merdeka, sedangkan Maeda yang merupakan Kepala the Japanese Navy Liaison Office on Java (Bukanfu) menjadi sponsor sekolah itu. Maeda juga yang kemudian meresmikan Asrama tersebut di daerah Gunung Sahari. Asrama tersebut kemudian ditempatkan di Kebon Sirih 80 pada Oktober 1944. Lulusan pertama sekolah (sekitar 30 orang) yang berlangsung selama enam bulan tersebut adalah pada April 1945. Angkatan kedua (sekitar 80 orang)  yang pembelajarannya dimulai Mei 1945 tidak sempat menyelesaikan sekolah karena Perang Dunia II telah berakhir dan Jepang menyerah pada sekutu. (Mrazek, 1994:249; Anderson, 2006:44).

Hampir semua figur nasionalis menjadi guru pada sekolah itu. Seperti Soekarno yang mengajarkan politik. Dr. Singgih mengajarkan nasionalisme. Hatta mengajarkan ekonomi. Sanoesi Pane mengajarkan Sejarah Indonesia. Syahrir mengajarkan sosialisme. Iwa mengajarkan Hukum Pidana dan Achmad Soebardjo mengajarkan hukum internasional. Sedangkan Wikana menjadi “penyelia” sekolah. Selain itu, pelajar sekolah juga diajarkan karate, judo, dan kendo oleh angkatan laut Jepang.

Terkait dengan pembentukan sekolah Asrama, Maeda dalam wawancara dengan Benedict Anderson pada 8 April 1962 menyatakan, “The Asrama was set up after the Koiso Declaration, which was very disappointing, since there was no follow-up. I felt very strongly that Indonesia wuold need capable leaders of the younger generation. I invited almost all the top Indonesian Leaders to lecture there on whatever they liked.” Selama pembentukan sekolah tersebut, Maeda dibantu dua orang asisten yang terpercaya, yaitu Tomegoro Yoshizumi dan Shigetada Nishijima.

Mohammad Hatta dalam Memoir (2002) sempat pula menceritakan jasa Maeda, khususnya pada waktu sebelum proklamasi terjadi. Saat itu pertengahan Agustus 1945, santer berita bahwa Jepang telah menyerah pada Sekutu, akan tetapi masih simpang siur. Akhirnya Hatta dan Soekarno bersama Soebardjo pada tanggal 15 Agustus 1945 mendatangi Maeda untuk mengkonfirmasi berita itu. Hatta menceritakan, “Soekarno menanyakan terus terang , apa benarkah berita yang tersiar sekarang dalam masyarakat, bahwa Jepang sudah minta damai kepada Sekutu. Maeda tidak terus menjawab dan menekur kira-kira satu menit lamanya. Aku beri isyarat kepada Soekarno, bahwa berita yang disampaikan Sjahrir itu memang benar. Dan Soekarno mengangguk. Setelah begitu lama berdiam diri dan wajah muka yang kelihatan sedih, Admiral Maeda menjawab, bahwa berita itu memang disiarkan oleh Sekutu. Tetapi, katanya, kami di sini belum lagi memperoleh berita dari Tokyo, sebab itu berita itu belum kami pandang benar. Hanya instruksi dari Tokyo yang menjadi pegangan kami. Kamimeninggalkan kantor Rear-Admiral Maeda dengan keyakinan, bahwa Jepang sungguh-sungguh menyerah.”

Karena pertemuan dengan Maeda tersebut, akhirnya Hatta mengusulkan kepada Soekarno agar Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan diadakan esok hari tanggal 16 Agustus 1945. Soekarno pun setuju. Soebardjo yang menjadi pembantu utama Hatta sebagai Wakil Ketua Panitia diinstruksikan Hatta untuk menginformasikan semua anggota agar hadir pukul 10.

Akan tetapi kaum muda menolak proklamasi dilakukan tanggal 16 Agustus 1945 karena ingin agar proklamasi dilakukan tidak karena pengaruh atau didukung Jepang. Mereka mendatangi rumah Hatta dan Soekarno memaksa agar kedua pemimpin tersebut bersikap revolusioner. Bahkan di rumah Soekarno, malam hari pada tanggal 15 Agustus 1945 kaum muda meminta agar sebelum jam 12 malam saat itu juga sudah ada pernyataan kemerdekaan. Wikana mengatakan, “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman Kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah.”

Menurut Hatta, tatkala mendengar ancaman itu, Soekarno naik darah, menuju Wikana sambil menunjukkan lehernya dan berkata, “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok.” Wikana terperanjat dan berkata, “ Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau memperingatkan, apabila kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro Belanda...”. (Hatta, 2002: 445).

Pembicaraan tersebut berakhir macet karena Hatta, Soekarno, Soebardjo dan dr. Boentaran bersepakat bila pemuda bersikap keras untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka pada malam itu juga, lebih baik mereka mencari seorang pemimpin sebagai penyokong revolusi. Perundingan macet dan rapat diputuskan bubar saja. (Hatta, 2002: 446). Besok harinya terjadilah peristiwa Rengasdengklok.

Pada saat peristiwa Rengasdengklok terjadi, Soebardjo dan Maeda awalnya mencurigai Tentara Angkatan Darat Jepang yang menculik Soekarno-Hatta. Akan tetapi Gunseikan menolak bertanggung jawab. (Rose, 2010:194). Kemudian Nishijima, asisten Maeda, dikirim untuk mencari Wikana dan menemukannya di Asrama Indonesia Merdeka. Nishijima berusaha membujuk Wikana untuk memberitahu dimana disembunyikan Soekarno-Hatta. Terjadi argumentasi yang sangat emosional. Nishijima sampai menjanjikan kalau Wikana memberitahu dimana Soekarno-Hatta berada, Nishijima dan Maeda akan mendukung dan membantu kemerdekaan Indonesia, serta berjanji menyediakan rumah Maeda untuk pertemuan lebih lanjut. Wikana akhirnya, tanpa memberitahu dimana Soekarno Hatta berada, setuju dan berjanji akan membantu pemulangan Soekarno-Hatta. Wikana kemudian menghubungi para pemuda, termasuk Soebardjo dan menyampaikan jaminan dari Nishijima dan Maeda. (Anderson, 2006:77).

Ketika peristiwa “penculikan” Rengasdengklok berakhir. Rombongan Soekarno Hatta telah sampai di Jakarta pada jam 8 malam. Hatta kemudian mencoba agar Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan diadakan malam itu di Hotel Des Indes sebagai pengganti Rapat yang batal diadakan pada pagi hari pukul 10 karena peristiwa Rengasdengklok. Akan tetapi, pihak Hotel Des Indes mengatakan, lewat pukul 10 malam sudah tidak boleh mengadakan kegiatan apa-apa lagi (aturan dari dulu memang begitu). Soebardjo kemudian mengusulkan agar dia diijinkan menelpon Admiral Maeda untuk meminjam ruang tengah rumahnya untuk rapat itu. Setelah diijinkan, Soebardjo menelpon Maeda dan Maeda bersedia meminjamkan rumahnya dengan senang hati. Akhirnya seluruh anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan diminta datang pada 12 tengah malam untuk melaksanakan rapat yang tidak jadi. 

Kesediaan Maeda menyediakan rumahnya sebagai tempat Rapat yang juga tempat merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan merupakan salah satu bukti simpati pribadi Maeda terhadap kemerdekaan Indonesia.  Penyediaan rumah tersebut juga bentuk perlindungan dari dirinya pribadi kepada para pendiri bangsa karena suasana saat itu sebenarnya tidak mungkin diadakan suatu pertemuan apalagi untuk merumuskan kemerdekaan Indonesia. Semestinya Maeda berdasarkan perintah yang diberikan kepadanya harus bersikap menjaga status quo sebagaimana pernyataan Major General  Nishimura dalam pertemuannya dengan Soekarno-Hatta yang diadakan tepat sebelum Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan dilangsungkan.  Nishimura, di kediamannya, mengungkapkan kepada Soekarno dan Hatta bahwa telah ada perintah sejak pukul 1 siang, tentara Jepang di Jawa tidak boleh lagi mengubah status quo. Simpati dan dukungan yang diberikan Maeda kepada gerakan kemerdekaan disebutkan pula dalam translasi Barbara Gifford Shimer dan Guy Hobbs di buku The Kenpeitai in Java and Sumatra (2010) yang menyatakan, “The Keinpetai was also vaguely aware that Navy Major General Maeda was contributing to the independence movement.”

Ada satu kejadian menarik pada malam tanggal 16 Agustus 1945, sebuah draft proklamasi sudah dibuat, akan tetapi mesin ketik di rumah Maeda ternyata memakai huruf kanji. Untungnya, Satsuki Mishima, anak buah Maeda, mengetahui di mana bisa meminjam mesin ketik di kala tengah malam itu. Mishima pergi menggunakan mobil Jip kepunyaan Maeda untuk meminjam mesin ketik kepunyaan kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) di Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, Maeda ditangkap oleh Sekutu pada tahun 1946 dan dipenjarakan di Gang Tengah selama satu tahun. Setelah itu ia dikembalikan ke Jepang. Dalam interogasi Maeda di Changi Gaol, Singapura antara 31 Mei sampai dengan 14 Juni 1946 (Indische Collectie No. 006902, NIOD) sebagaimana dikutip R. E. Elson dalam buku The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan  (2008), Maeda mengatakan, “Jalan menuju kemerdekaan telah ditempuh begitu jauh sehingga [bangsa Indonesia] tidak mau melepaskan kemajuan yang telah didapat.”

Nishijima dalam wawancara dengan Basyral Hamidy Harahap pada 10 Oktober 2000 di Meguro-ku, Tokyo menceritakan dengan gamblang kejadian saat Maeda dan dirinya dipenjara di Penjara Gang Tengah. Wawancara tersebut termuat dalam buku Kisah istimewa Bung Karno (2010) dengan kutipan sebagai berikut: “Laksamana Muda T. Maeda dan saya berusaha sekeras-kerasnya untuk menjaga nama baik Republik Indonesia, agar jangan sampai Belanda bias mengecap RI itu sebagai bikinan Jepang. Pada akhir bulan Desember 1946, E.S. Pohan sebagai war crime's suspect, dipindahkan dari salah satu tempat ke penjara Gang Tengah. Dia dimasukkan ke double sel yang tadinya ditempati Tuan T. Maeda. Kemudian Tuan T. Maeda dipindahkan ke dalam sel saya. Memang ini adalah kesalahan dari pihak pengurus penjara. Karena Tuan T. Maeda dan saya masih belum diperiksa mengenai rapat dan kejadian di rumah Tuan T. Maeda. Kami berdua merasa amat senang. Kami berunding betul-betul sampai mana boleh terus terang dan mana harus tinggal diam saja mengenai perumusan naskah proklamasi. Karena pada waktu itu Belanda berusaha keras untuk mengecap Republik sebagai bikinan Jepang. Karena apa? Karena tanggalnya ditulis ‘05. ’05 artinya artinya tahun Jepang, bukan ’45. Biarpun pemeriksa berturut-turut empat hari menekan saya sampai akhirnya mengeluarkan air kencing berdarah, saya tetap tidak mengaku. Umur saya waktu itu hamper 36 tahun dan masih bisa tahan.”

Nishijima juga menceritakan kejadian dalam perumusan naskah proklamasi di meja bundar, sebagai berikut: “Di sini duduk Tuan Maeda, Tuan Sukarno, Tuan Hatta, Mr. Subarjo, saya sendiri, Tuan Yoshizumi, dan S. Miyoshi dari Angkatan Darat. Kami membicarakan bagaimana teks proklamasi. Pemuda ada di luar, antara lain Sukarni, Chairul Saleh dan yang lainnya. Pemuda meminta agar supaya teks itu bunyinya keras, artinya hebat. Padahal saya sendiri sebagai pihak Jepang, apalagi saya tahu sedikitnya international law bahwa jika pihak Jepang mengakui dan menyetujui teks itu, kita akan dimarahi oleh Sekutu. Jadi kata-kata itu harus dirumuskan. Sehingga ada perubahan-perubahan. Perubahan itu, tentang kata penyerahan, dikasihkan, atau diserahkan. Itu tidak bisa. Perebutan juga kita tidak mau mengakuinya. Sehingga di sini diadakan pemindahan kekuasaan. Sukarno sendiri menulis diselenggarakan. Pihak Indonesia tidak mengakui bahwa itu dicampuri oleh Jepang.”

Menurut Basyral Hamidy Harahap, Laksamana Tadashi Maeda dan Shigetada Nishijima telah sepakat dan bertekad untuk tidak menceritakan kepada Sekutu tentang keterlibatan mereka dalam perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Alasannya, antara lain, untuk melindungi nama baik Republik Indonesia. Apalagi Sekutu sudah mencium keterlibatan pihak Jepang. Sekutu menuduh bahwa Proklamasi itu adalah rekayasa pihak Jepang.

Atas jasa Laksamana Muda Tadashi Maeda tersebut, pada tahun 1973 Maeda diundang pemerintah Indonesia untuk menghadiri perayaan Proklamasi 17 Agustus. Dalam kesempatan itu ia sempat bertemu dengan Mohammad Hatta. Maeda juga merupakan penerima Bintang Jasa Nararya dari pemerintah Indonesia, yang diserahkan oleh duta besar Republik Indonesia untuk Jepang Antonius Joseph Witono.

Dalam wawancara islamindonesia.co.id dengan Prof. Aiko Kurasawa (salah seorang Indonesianis sejarawan ternama Jepang) yang ditulis Hendi Jo dan dimuat pada 21 Maret 2014, Kurasawa menjelaskan sebagai berikut: “...terkait kebijakan bala tentara Dai Nippon menjelang detik-detik terakhir kekuasan mereka pada 1945. Mengapa tidak ada kekompakan sikap menghapi Proklamasi bangsa Indonesia antara Rikugun (Angkatan Darat) dengan Kaigun (Angkatan Laut)? Tentu saja karena Jakarta terletak di Jawa yang merupakan wilayah-nya Rikugun. Kaigun sendiri membawahi Indonesia bagian timur. Karena itu, dapat dimengerti ketika Laksamana Maeda memberi dukungan kepada Sukarno-Hatta dan kawan-kawannya menjelang dilakukan proklamasi kemerdekaan Indonesia, pihak Rikugun marah besar sekali karena  menurut mereka sebagai tentara seharusnya Maeda dan pihak Kaigun harus patuh kepada Negara yang sudah menyatakan menyerah kepada Sekutu dan terikat perjanjian penjagaan status quo hingga kedatangan Sekutu ke Jawa.”
Selanjutnya Prof. Aiko Kurasawa menjelaskan: “Nyatanya Maeda tidak mengikuti Negara… Ya karena itulah ia lantas dikecam dan mendapat perlakuan hina di Jepang. Meskipun secara hati nurani, orang-orang Jepang mendukung kemerdekaan Indonesia namun kepatuhan kepada Negara bagi mereka adalah segalanya. Ini adalah soal kehormatan  dan harga diri bangsa. Tidak aneh, ketika Maeda pulang ke Jepang, semua akses ditutup untuk Maeda dan ia mendapat kesulitan luar biasa selepas  dari dinas militer hingga ia meninggal sekitar tahun 1980-an dalam kondisi melarat.”

Simpati dan dukungan Maeda terhadap kemerdekaan Indonesia tidaklah demi kepentingan Jepang. Bahkan, Hatta (Memoir, 2002) merekam kejadian ketika Soekarno dan Hatta berkunjung ke rumah Maeda ketika peristiwa Rengasdengklok berakhir, Maeda sangat bergembira bertemu dengan mereka. Soekarno mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas kesediaan Admiral Maeda meminjamkan rumahnya untuk rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan malam itu. Maeda serentak menjawab, “Itu kewajiban saya yang mencintai Indonesia merdeka.”


Sumber Bacaan:
Hero Triatmono (ed.), Kisah Istimewa Bung Karno, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Mavis Rose, Indonesia Free: a Political Biography of Mohammad Hatta, Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd., 2010.
Barbara Gifford Shimer, Guy Hobbs, (trans.), The Kenpeitai in Java and Sumatra, Jakarta: Equinox Pub., 2010.
R. E. Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan, Serambi, 2008.
Benedict Anderson, Java in a Time of Revolutio : Occupation and Resistance, 1944-1946. Jakarta: Equinox Publishing, 2006.
Mohammad Hatta, Memoir, Yayasan Hatta, 2002.
Frances Gouda, Thijs Brocades Zaalberg, American Visions of the Netherlands East Indies, Indonesia: US Foreign Policy and Indonesian Nationalism: 1920-1949, Amsterdam: Amsterdam Univ. Press, 2002.
Rudolf Mrázek, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, Ithaca, NY Southeast Asia Program, Cornell Univ. 1994
Soegiarso Soerojo, “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai” (G30 S PKI dan Peran Bung Karno), 1988.

#Telah dimuat di Majalah Konstitusi 2014.

Comments

LuQ said…
tulisannya bagus banget!!!!! lagi cari bahan buat tugas, ini pas banget! makasih banyak ya! ijin ngambil with full credits :) semoga selalu sukses ya! terima kasih!
Unknown said…
"Samurai" yang membantu Indonesia merdeka

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...