Oleh Luthfi Widagdo Eddyonno
Parada Harahap disebutkan dalam berbagai sumber merupakan satu-satunya anggota Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang bersuku Batak. Berlatar belakang sebagai seorang jurnalis, Parada menjadi anggota BPUPK yang tergabung dalam Tim Perancang Undang-Undang Dasar. Menurut catatan, B. Wibowo, berdasarkan rapat BPUPK tanggal 13 Juni 1945, Parada Harahap mengusulkan agar selain menentukan bendera, Undang-Undang Dasar juga hendaknya mengatur mengenai lambang Negara dan dia pula yang mengusulkan agar nama Badan Permusyawaratan Rakyat diubah menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Parada Harahap merupakan salah satu tokoh jurnalistik Indonesia yang mumpuni dan ditakuti pemerintah kolonial. Lahir di Pergarutan, Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan pada 15 Desember 1899, Parada hanyalah seorang lulusan Sekolah Rakyat Kelas 2 yang otodidak menjadi jurnalis. Berdasarkan kajian Rahmi Seri Hanida yang mengutip Subagjo, Jagat Wartawan Indonesia, (1981:188), dikarenakan: “... semasa kecilnya dia sering menerima kiriman surat kabar dan majalah yang dikirimkan oleh saudara tuanya, Panagian Harahap yang kala itu masih belajar di Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukit Tinggi”.
Awalnya, dia menjabat sebagai Leering Schryver di Perusahaan Perkebunan (Onderneming) Rubber Cultur My Amsterdam, kemudian menjadi Kerani Kesatu, Asisten juru Tulis, dan kemudian menjadi Kepala Juru Tulis di Onderneming Rubber Cultur My Amsterdam di Sungai Dadap, Asahan. Walau demikian, Parada Harahap merupakan Kolumnis Surat Kabar Pewarta Deli (1917-1918), Kolumnis Surat Kabar Oetoesan Soematera, Kolumnis Surat Kabar Benih Merdeka (1917-1918), Ketua Redaktur de Craine (1918), Hoof Redaktur Sinar Merdeka (1918-1921), Hoof Redaktur Pustaha, dan Kolumnis Surat Kabar Mimbar Umoem, serta Majalah Poestaha.
Pada tahun 1917, Parada Harahap telah menulis dan membongkar kekejaman Poenale Sanctie dan perlakuan di luar batas perikemanusiaan terhadap kuli-kuli kontrak yang dilakukan baik oleh tuan kebun dan bawahannya. Pada saat itu memang banyak sekali pembukaan lahan pekebunan di Sumatera Timur, sehingga memerlukan banyak tenaga kerja yang tidak dapat dipenuhi warga lokal sehingga didatangkan dari Pulau Jawa. Agar tidak “merepotkan”, maka kuli dari Jawa tersebut diikat kontrak yang disertai ancaman hukuman. Inilah yang sering disebut dengan istilah “kuli kontrak” dan “Jawa Kontrak”.
Selama Parada menjadi redaktur Sinar Merdeka di Padang Sidempuan (1918-1921), ia telah 12 kali terkena delik pers dan keluar masuk penjara. Surat kabar itu sebagian besar memang mengkritik kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang melakukan tindakan kesewenang-wenangan selama di Hindia Belanda.
Parada kemudian berkecimpung di berbagai harian dan majalah, antara lain, Benih Merdeka dan Hindia Sepakat di Sibolga. Parada pun merantau dan hijrah ke Pulau Jawa sebagai reporter Sin Po dan Harian Neratja. Tahun 1924 dia mendirikan Kantor Berita Pertama, yaitu Alpena dan mingguan Bintang Timoer yang kemudian berkembang menjadi harian dan merupakan salah satu koran modern kala itu. Parada kemudian juga menerbitkan koran bernama Perempoean Bergerak di mana bekerja para redaktur wanita terkenal seperti T.A. Subariah, Butet Sutijah, Siti Rohana, dan isterinya sendiri Setiaman.
Pada tahun 1935, Parada Harahap sempat melawat ke Jepang. Bintang Timoer pun mengalami kemunduran. Tahun berikutnya, Parada mendirikan Tjaya Timoer yang terbit sampai zaman Jepang. Selama pendudukan Jepang dia mengasuh harian Sinar Baroe di Semarang. Pada awal revolusi, Parada menjadi pegawai tinggi Kementerian Penerangan, disamping memimpin harian Negara Baroe. Selama revolusi fisik, Parada ditugaskan sebagai Koordinator Jawatan Penerangan se-Sumatera. Dia juga menerbitkan Harian Detik. Pada tahun 1948, Parada menjadi pegawai tinggi Kementerian Penerangan Negara Indoesia Timur di Ujungpandang.
Pada tahun 1951 Parada mendirikan Akademi Wartawan Pertama di Jakarta yang kemudian berkembang menjadi Perguruan Tinggi Publistik. Pada tahun 1953, dia berusaha menerbitkan Mingguan Lukisan Dunia dan menghidupkan kembali harian Bintang Timoer, tetapi akhirnya koran itu dijual kepada Partai Rakyat Nasional.
King of the Java Press
Sebagai seorang jurnalis, Parada Harahap mendapat predikat sebagai wartawan terbaik versi Europeesche Pers (de beste journalisten van de Europeescbe pers). Dalam dunia jurnalistik, Parada Harahap pun dikenal sebagai ‘pemilik’ berbagai persurat-kabaran, sehingga di kalangan Belanda, Parada Harahap disebut King of the Java Press karena pendiri/pemilik surat kabar Bintang Timoer dan lima surat kabar lainnya. Tercatat Sinar Pasundan dan Bintang Hindia juga merupakan “buah tangan”nya.
Berubah haluan dari seorang pegawai perkebunan menjadi jurnalis, berdasarkan kajian Rahmi Seri Hanida, “Rekonstruksi pemikiran Parada Harahap dalam Lintasan Pers Yang Berkaitan dengan Kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Utara 1917-1942”, tulisan pertama Parada Harahap adalah kritik terhadap aturan yang memperbolehkan Belanda membawa tongkat yang di dalamnya ada pisau, sementara kuli dilarang keras membawa pisau belati dipinggangnya. Mengapa mereka diperbolehkan, sedangkan para pekerja dilarang membawanya?, menjadi pertanyaan Parada dalam tulisannya. Tulisan itu berjudul “Pisau Belati Contra Somambe” yang menjadi tajuk rencana di Surat Kabar Pewarta Deli. Tulisan Parada Harahap tersebut ramai dibicarakan di surat kabar lokal.
Menurut Rahmi Seri Hanida, “Parada Harahap yang bekerja pada perkebunan (onderneming) di sumatera timur bisa memberikan kritikan terhadap kesewenangan pemerintahan belanda terhadap kuli kontrak di Sumatera Timur melalui pemikiran yang beliau tuliskan yang kemudian dimuat di beberapa surat kabar di Sumatera Utara. Hingga akhirnya Parada Harahap diberhentikan dari Perkebunan (Onderneming) dan Parada Harahap rela meninggalkan gaji yang besar dan fasilitas free dari perkebunan (Onderneming).”
Walau demikian, tulisannya tidak hanya berkisar atas kekejaman kaum kolonial, Rahmi Seri Hanida menemukan ada juga tulisan tentang bagaimana cara orang tua mendidik anaknya di zaman kolonial. Menurutnya, “anak-anak adalah generasi penerus bangsa ini, jadi para orang tua harus berusah sebaik mungkin dalam mendidik para generasi muda tersebut. Akan tetapi hal itu nampaknya menjadi kesulitan karena orang tua-orang tua pada saat itu adalah orang tua muda. Pernikahan dibawah umur tidak hanya rentan akan masalah yang dihadapi dikeluarga, akan tetapi juga masalah orang tua tersebut dalam memberikan pendidikan kepada anaknya.”
Yang unik, Parada Harahap ketika menulis tidak selalu memakai nama aslinya, tetapi menggunakan nama-nama samaran yaitu, Flora, Mr. Swan, dan Oom Baron Matturepeck yang diambil dari bahasa Batak yang berarti suara dari kertas. Selain itu, Parada Harahap juga merupakan tokoh Bataksbond dan Sumatranen Bond, bahkan menjadi anggota Syarikat Islam Tapanuli. Penulis buku Dari Pantai ke Pantai dan Riwayat Dr. Rivai ini dikenal sebagai sebagai orang yang mempunyai ingatan sangat kuat yang sangat penting bagi tugas jurnalistiknya.
Parada Harahap wafat pada 11 Mei 1959 dan dimakamkan di Jakarta. Dia adalah penerima Anugerah Bintang Mahaputra Utama berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 048 Tahun 1992. Dahulu untuk mengenangnya sempat ada Yayasan Parada Harahap di Kota Medan, akan tetapi sekarang sudah tidak aktif.
Sumber Bacaan:
Rahmi Seri Hanida, “Rekonstruksi pemikiran Parada Harahap dalam Lintasan Pers Yang Berkaitan dengan Kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Utara 1917-1942”, Skripsi Universitas Negeri Medan, 2014 dalam [http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Undergraduate-31195], diakses 9 Oktober 2014.
B. Wibowo, “Amir Husein Daulay: Sutradara Demo Yang Kritis, Berani & Kreatif”,[http://bwiwoho.blogspot.com.tr/2013_08_01_archive.html?m=1], diakses 9 Oktober 2014.
“Parada Harahap” [http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2161/Parada-Harahap-Gelar-Mangaradja-Sutan-Gunung-Muda], diakses 9 Oktober 2014.
“Parada Harahap”, [http://program-pascasarjana-p2k-stie-stmik.kurikulum.org/ensiklopedia.php?_i=all&id=106091], diakses 9 Oktober 2014.
“Parada Harahap: Wartawan Pejuang Paling Ditakuti Belanda dari Padang Sidempuan yang Menjadi ‘King of the Java Press’”, [http://akhirmh.blogspot.com.tr/2014/06/parada-harahap-wartawan-pejuang-paling.html?m=1], diakses 9 Oktober 2014.
“Parada Harahap”, [http://id.m.wikipedia.org/wiki/Parada_Harahap], diakses 9 Oktober 2014.
#Telah dimuat di Majalah Konstitusi 2014.
Parada Harahap disebutkan dalam berbagai sumber merupakan satu-satunya anggota Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang bersuku Batak. Berlatar belakang sebagai seorang jurnalis, Parada menjadi anggota BPUPK yang tergabung dalam Tim Perancang Undang-Undang Dasar. Menurut catatan, B. Wibowo, berdasarkan rapat BPUPK tanggal 13 Juni 1945, Parada Harahap mengusulkan agar selain menentukan bendera, Undang-Undang Dasar juga hendaknya mengatur mengenai lambang Negara dan dia pula yang mengusulkan agar nama Badan Permusyawaratan Rakyat diubah menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Parada Harahap merupakan salah satu tokoh jurnalistik Indonesia yang mumpuni dan ditakuti pemerintah kolonial. Lahir di Pergarutan, Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan pada 15 Desember 1899, Parada hanyalah seorang lulusan Sekolah Rakyat Kelas 2 yang otodidak menjadi jurnalis. Berdasarkan kajian Rahmi Seri Hanida yang mengutip Subagjo, Jagat Wartawan Indonesia, (1981:188), dikarenakan: “... semasa kecilnya dia sering menerima kiriman surat kabar dan majalah yang dikirimkan oleh saudara tuanya, Panagian Harahap yang kala itu masih belajar di Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukit Tinggi”.
Awalnya, dia menjabat sebagai Leering Schryver di Perusahaan Perkebunan (Onderneming) Rubber Cultur My Amsterdam, kemudian menjadi Kerani Kesatu, Asisten juru Tulis, dan kemudian menjadi Kepala Juru Tulis di Onderneming Rubber Cultur My Amsterdam di Sungai Dadap, Asahan. Walau demikian, Parada Harahap merupakan Kolumnis Surat Kabar Pewarta Deli (1917-1918), Kolumnis Surat Kabar Oetoesan Soematera, Kolumnis Surat Kabar Benih Merdeka (1917-1918), Ketua Redaktur de Craine (1918), Hoof Redaktur Sinar Merdeka (1918-1921), Hoof Redaktur Pustaha, dan Kolumnis Surat Kabar Mimbar Umoem, serta Majalah Poestaha.
Pada tahun 1917, Parada Harahap telah menulis dan membongkar kekejaman Poenale Sanctie dan perlakuan di luar batas perikemanusiaan terhadap kuli-kuli kontrak yang dilakukan baik oleh tuan kebun dan bawahannya. Pada saat itu memang banyak sekali pembukaan lahan pekebunan di Sumatera Timur, sehingga memerlukan banyak tenaga kerja yang tidak dapat dipenuhi warga lokal sehingga didatangkan dari Pulau Jawa. Agar tidak “merepotkan”, maka kuli dari Jawa tersebut diikat kontrak yang disertai ancaman hukuman. Inilah yang sering disebut dengan istilah “kuli kontrak” dan “Jawa Kontrak”.
Selama Parada menjadi redaktur Sinar Merdeka di Padang Sidempuan (1918-1921), ia telah 12 kali terkena delik pers dan keluar masuk penjara. Surat kabar itu sebagian besar memang mengkritik kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang melakukan tindakan kesewenang-wenangan selama di Hindia Belanda.
Parada kemudian berkecimpung di berbagai harian dan majalah, antara lain, Benih Merdeka dan Hindia Sepakat di Sibolga. Parada pun merantau dan hijrah ke Pulau Jawa sebagai reporter Sin Po dan Harian Neratja. Tahun 1924 dia mendirikan Kantor Berita Pertama, yaitu Alpena dan mingguan Bintang Timoer yang kemudian berkembang menjadi harian dan merupakan salah satu koran modern kala itu. Parada kemudian juga menerbitkan koran bernama Perempoean Bergerak di mana bekerja para redaktur wanita terkenal seperti T.A. Subariah, Butet Sutijah, Siti Rohana, dan isterinya sendiri Setiaman.
Pada tahun 1935, Parada Harahap sempat melawat ke Jepang. Bintang Timoer pun mengalami kemunduran. Tahun berikutnya, Parada mendirikan Tjaya Timoer yang terbit sampai zaman Jepang. Selama pendudukan Jepang dia mengasuh harian Sinar Baroe di Semarang. Pada awal revolusi, Parada menjadi pegawai tinggi Kementerian Penerangan, disamping memimpin harian Negara Baroe. Selama revolusi fisik, Parada ditugaskan sebagai Koordinator Jawatan Penerangan se-Sumatera. Dia juga menerbitkan Harian Detik. Pada tahun 1948, Parada menjadi pegawai tinggi Kementerian Penerangan Negara Indoesia Timur di Ujungpandang.
Pada tahun 1951 Parada mendirikan Akademi Wartawan Pertama di Jakarta yang kemudian berkembang menjadi Perguruan Tinggi Publistik. Pada tahun 1953, dia berusaha menerbitkan Mingguan Lukisan Dunia dan menghidupkan kembali harian Bintang Timoer, tetapi akhirnya koran itu dijual kepada Partai Rakyat Nasional.
King of the Java Press
Sebagai seorang jurnalis, Parada Harahap mendapat predikat sebagai wartawan terbaik versi Europeesche Pers (de beste journalisten van de Europeescbe pers). Dalam dunia jurnalistik, Parada Harahap pun dikenal sebagai ‘pemilik’ berbagai persurat-kabaran, sehingga di kalangan Belanda, Parada Harahap disebut King of the Java Press karena pendiri/pemilik surat kabar Bintang Timoer dan lima surat kabar lainnya. Tercatat Sinar Pasundan dan Bintang Hindia juga merupakan “buah tangan”nya.
Berubah haluan dari seorang pegawai perkebunan menjadi jurnalis, berdasarkan kajian Rahmi Seri Hanida, “Rekonstruksi pemikiran Parada Harahap dalam Lintasan Pers Yang Berkaitan dengan Kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Utara 1917-1942”, tulisan pertama Parada Harahap adalah kritik terhadap aturan yang memperbolehkan Belanda membawa tongkat yang di dalamnya ada pisau, sementara kuli dilarang keras membawa pisau belati dipinggangnya. Mengapa mereka diperbolehkan, sedangkan para pekerja dilarang membawanya?, menjadi pertanyaan Parada dalam tulisannya. Tulisan itu berjudul “Pisau Belati Contra Somambe” yang menjadi tajuk rencana di Surat Kabar Pewarta Deli. Tulisan Parada Harahap tersebut ramai dibicarakan di surat kabar lokal.
Menurut Rahmi Seri Hanida, “Parada Harahap yang bekerja pada perkebunan (onderneming) di sumatera timur bisa memberikan kritikan terhadap kesewenangan pemerintahan belanda terhadap kuli kontrak di Sumatera Timur melalui pemikiran yang beliau tuliskan yang kemudian dimuat di beberapa surat kabar di Sumatera Utara. Hingga akhirnya Parada Harahap diberhentikan dari Perkebunan (Onderneming) dan Parada Harahap rela meninggalkan gaji yang besar dan fasilitas free dari perkebunan (Onderneming).”
Walau demikian, tulisannya tidak hanya berkisar atas kekejaman kaum kolonial, Rahmi Seri Hanida menemukan ada juga tulisan tentang bagaimana cara orang tua mendidik anaknya di zaman kolonial. Menurutnya, “anak-anak adalah generasi penerus bangsa ini, jadi para orang tua harus berusah sebaik mungkin dalam mendidik para generasi muda tersebut. Akan tetapi hal itu nampaknya menjadi kesulitan karena orang tua-orang tua pada saat itu adalah orang tua muda. Pernikahan dibawah umur tidak hanya rentan akan masalah yang dihadapi dikeluarga, akan tetapi juga masalah orang tua tersebut dalam memberikan pendidikan kepada anaknya.”
Yang unik, Parada Harahap ketika menulis tidak selalu memakai nama aslinya, tetapi menggunakan nama-nama samaran yaitu, Flora, Mr. Swan, dan Oom Baron Matturepeck yang diambil dari bahasa Batak yang berarti suara dari kertas. Selain itu, Parada Harahap juga merupakan tokoh Bataksbond dan Sumatranen Bond, bahkan menjadi anggota Syarikat Islam Tapanuli. Penulis buku Dari Pantai ke Pantai dan Riwayat Dr. Rivai ini dikenal sebagai sebagai orang yang mempunyai ingatan sangat kuat yang sangat penting bagi tugas jurnalistiknya.
Parada Harahap wafat pada 11 Mei 1959 dan dimakamkan di Jakarta. Dia adalah penerima Anugerah Bintang Mahaputra Utama berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 048 Tahun 1992. Dahulu untuk mengenangnya sempat ada Yayasan Parada Harahap di Kota Medan, akan tetapi sekarang sudah tidak aktif.
Sumber Bacaan:
Rahmi Seri Hanida, “Rekonstruksi pemikiran Parada Harahap dalam Lintasan Pers Yang Berkaitan dengan Kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Utara 1917-1942”, Skripsi Universitas Negeri Medan, 2014 dalam [http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Undergraduate-31195], diakses 9 Oktober 2014.
B. Wibowo, “Amir Husein Daulay: Sutradara Demo Yang Kritis, Berani & Kreatif”,[http://bwiwoho.blogspot.com.tr/2013_08_01_archive.html?m=1], diakses 9 Oktober 2014.
“Parada Harahap” [http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2161/Parada-Harahap-Gelar-Mangaradja-Sutan-Gunung-Muda], diakses 9 Oktober 2014.
“Parada Harahap”, [http://program-pascasarjana-p2k-stie-stmik.kurikulum.org/ensiklopedia.php?_i=all&id=106091], diakses 9 Oktober 2014.
“Parada Harahap: Wartawan Pejuang Paling Ditakuti Belanda dari Padang Sidempuan yang Menjadi ‘King of the Java Press’”, [http://akhirmh.blogspot.com.tr/2014/06/parada-harahap-wartawan-pejuang-paling.html?m=1], diakses 9 Oktober 2014.
“Parada Harahap”, [http://id.m.wikipedia.org/wiki/Parada_Harahap], diakses 9 Oktober 2014.
#Telah dimuat di Majalah Konstitusi 2014.
Comments