Lahir di Cilacap pada tanggal 5 Juni 1903, Soekardjo Wirjopranoto merupakan salah seorang tokoh kemerdekaan yang mumpuni. Dia tamat dari Sekolah Hukum pada tahun 1923, sempat bekerja di berbagai pegadilan negeri, akhirnya pada tahun 1929 berhenti dan merintis kantor advokat “Wisnu” di Malang hingga berhasil menjadi pengacara pada Pengadilan Tinggi Surabaya. Selain itu, ia merupakan Anggota Dewan Provinsi dan Wakil Walikota Malang. Karir politiknya semakin cemerlang karena Soekardjo menjadi anggota Volksraad pada tahun 1931.
Menurut Ensiklopedi Jakarta, yang dimuat dalam laman www.jakarta.go.id, salah satu kiprahnya dalam sidang Volksraad ialah pada tahun 1937 Soekardjo mengajukan mosi agar orang-orang Indonesia diberi kesempatan untuk menjadi walikota. Mosi itu ternyata didukung oleh sebagian besar anggota Volksraad, tetapi sayang sekali ditolak oleh Pemerintah Belanda.
Aktivitas politiknya juga berkembang ketika ia menjadi sekretaris Gabungan Politik Indonesia (Gapi). Pada tanggal 22 Agustus 1940, Soekardjo menyampaikan seruan Gapi agar di Indonesia dibentuk parlemen dan pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen. Sejak tahun 1936, ia juga menjadi pentolan Partai Indonesia Raya (Parindra) bersama Thamrin, Ratu Langie, dan E.W.E. Douwes Dekker. Pada Januari 1941, Thamrin, Ratu Langie, dan E.W.E. Douwes Dekker ditangkap. Hanya Soekardjo Wirjopranoto yang tidak ditangkap.
Bersama dr. Sutomo, Soekardjo mendirikan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Untuk membina para pemuda, tahun 1934 didirikan perkampungan kerja, dimana para pemuda dilatih menjadi ahli kayu, ahli besi, ahli pertanian, dan lain-lain. Cikal bakal berdirinya PBI adalah indonesische Studie Club, yaitu suatu kelompok orang-orang terpelajar yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan jalan mendirikan “rukun tani”, menggalakkan koperasi, membentuk serikat pekerja, dan lain-lain.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Soekardjo memimpin surat kabar Asia Raya. Soekardjo juga merupakan anggota Preparatory Committe dan Advisory Board Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang eksis pada Maret 1943 sampai Februari 1944 sebagai wadah kaum pergerakan. Soekardjo juga merupakan bagian dari Panitia Adat dan Tatanegara Dahulu yang dibentuk pemerintah Jepang sebagai organisasi riset terhadap tradisi dan karakter masyarakat jawa khususnya, bersama dengan Soekarno, Hatta, K.H. Mansur, dan Wondoamiseno. Akhirnya dia menjadi anggota Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) pada waktu yang bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang anggota istimewa berkebangsaan Jepang lainnya yang tidak memiliki hak suara karena merupakan anggota istimewa atau luar biasa.
BPUPK pernah melaksanakan dua kali pertemuan pleno yang resmi, yaitu pada 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945 yang menghasilkan kesepakatan dasar konstitusional berupa dasar negara, bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, ekonomi/keuangan, pembelaan, pendidikan, dan pengajaran, serta rancangan Undang-Undang Dasar, yang penting bagi pembentukan dasar-dasar konstitusi Indonesia nantinya. Sidang-sidangnya kerap dilaksanakan di Gedung Tyuuooo Sangi-in yang sekarang disebut dengan Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, di daerah Pejambon, Jakarta. Selain itu, terdapat pula sidang tidak resmi yang hanya dihadiri oleh 38 orang anggota BPUPK yang berlangsung dalam masa reses antara sidang pertama dan sidang kedua untuk membahas rancangan pembukaan UUD 1945 (Mukadimmah) yang dipimpin oleh Ir. Soekarno.
Dalam Sidang BPUPK pada tanggal 15 Juli 1945, Soekardjo Wirjopranoto sempat merespon KH. Masjkoer yang meminta agar terdapat konsistensi dalam rancangan Pasal 7 (yang menyebutkan, Presiden harus bersumpah menurut agamanya, padahal berdasarkan UUD ada kewajiban umat islam untuk menjalankan syariat islam untuk pemeluk-pemeluknya). Saat itu, Piagam Jakarta masih ada dan termaktub “Ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek2-nja”, demikian pula dengan draft pada Pasal 28. KH. Masjkoer memang mengusulkan, kalau presiden tidak ditentukan orang islam, maka yang tertulis dalam Pasal 28 yang memaktubkan wajib menjalankan syariat islam kepada pemeluk-pemeluknya diganti dengan kalimat, “Agama resmi bagi Republik Indonesia adalah agama islam.”
Setelah pernyataan tersebut direspon oleh Soekarno dengan menggunakan logika kalau pemeluk islam yang terbesar jumlahnya maka Presiden akan besar juga kemungkinannya islam, Soekardjo Wirjopranoto kemudian menanggapi usulan KH. Masjkoer tersebut. Menurut Soekardjo, Pasal 27 Rancangan Undang-Undang Dasar telah menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan”. Dengan demikian, dalam negara Indonesia tidak ada kelas-kelas yang hal demikian mencerminkan keadilan. Konsekuensi dari keadilan itu, tiap-tiap warga Indonesia berhak juga menempati kedudukan Presiden Republik Indonesia.
Perdebatan semakin hangat, hingga harus ditunda sampai esok hari pada rapat tanggal 16 Juli 1945. Akhirnya forum pada rapat tanggal 16 Juli 1945 tersebut menyepakati “Presiden ialah orang Indonesial asli yang beragama islam”. BPUPK secara otomatis kemudian bubar setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) didirikan pemerintahan Jepang pada 7 Agustus 1945. PPKI itu sendiri baru bisa bersidang setelah 17 Agustus 1945, proklamasi Indonesia, yaitu pada tanggal 18-22 Agustus 1945.
Menurut laman www.jakarta.go.id, sesudah Indonesia merdeka, Soekardjo turut membina majalah Mimbar Indonesia. Sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Soekardjo menjabat sebagai Duta Besar RI di Vatikan, Duta Besar Luar Biasa untuk Italia, dan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Rakyat Cina. Bahkan pada tahun 1962 ia diangkat menjadi Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam kesempatan itu, ia berhasil mempengaruhi bangsa-bangsa lain agar membantu perjuangan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda. Soekardjo Wirjopranoto wafat di New York, 23 Oktober 1962 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 342/1962, ia di angkat sebagai Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Namanya diabadikan sebagai nama jalan di Pecenongan, Jakarta Pusat. (Luthfi Widagdo Eddyono)
Daftar Bacaan:
William H. Frederick, The Putera Reports: Problems in Indonesian-Japanese Wartime Cooperation, Equinox Publishing, 2009.
Gerry Van Klinken, Minorities, Modernity and the Emerging Nation: Christians in Indonesia, a Biographical Approach, 2003.
Daniel S. Lev, Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: Selected Essays, The London-Leiden Series on Law, Administration & Development, 2000.
“Soekardjo Wirjopranoto “ [http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2929/Soekardjo-Wirjopranoto], diakses 10 Oktober 2014.
“Soekardjo Wirjopranoto “ [http://biografiteladan.blogspot.com.tr/2011/07/biografi-soekardjo-wirjopranotot.html], diakses 10 Oktober 2014.
Luthfi Widagdo Eddyono, “Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia”, Majalah Konstitusi, Maret 2014.
Luthfi Widagdo Eddyono, “Kiai Haji Masjkoer: Pencetus Islam Sebagai Agama Resmi Negara Indonesia”, Majalah Konstitusi, 2014.
#Telah dimuat di Majalah Konstitusi, Oktober 2014.
Comments