Skip to main content

Sukarni Kartodiwirjo: Revolusi Kaum Muda


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2014, Presiden Joko Widodo telah menetapkan empat tokoh sebagai pahlawan nasional dengan kriteria, “Anugerah Pahlawan Nasional kepada mereka sebagai penghargaan yang tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa, yang semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, atau perjuangan politik atau dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, dan mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan, dan mengisi kemerdekaan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa”.

Empat tokoh tersebut adalah Letjen. Djamin Ginting, K.H. Abdul Wahab Chasbullah Kyai Wahab, Mayjen. TKR HR Mohammad Mangoendiprojo, dan Sukarni Kartodiwirjo. Pemberian penghargaan gelar pahlawan nasional untuk empat tokoh revolusi tersebut dilangsungkan di Istana Negara pada 7 November 2014. Tulisan Jejak Konstitusi kali ini akan membahas sepak terjang Sukarni Kartodiwirjo yang berperan pada peristiwa Rengasdengklok yang “mengubah” sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia, serta perannya pada perumusan naskah proklamasi.

Sukarni Kartodiwirjo lahir di Garum, Blitar, Jawa Timur pada 14 Juli 1916. Saat bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Blitar, Sukarni pada tahun 1930 telah aktif di Partai Indonesia (Partindo). Karenanya, ia sempat mengikuti pendidikan kader di Bandung dengan Soekarno yang menjadi mentor utama. Setelah itu, Sukarni mendirikan organisasi Persatuan Pemuda Kita dan bergabung dengan Indonesia Muda Cabang Blitar. Pada tahun 1935, Sukarni telah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Indonesia Muda.

Disebabkan aktivitasnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, untuk menghindari penangkapan Politieke Inlichtingen Dienst (PID), ia pun harus pergi dan bersembunyi di pondok pesantren Banyuwangi dan Kediri. Pada tahun 1938, Sukarni menyeberang ke Kalimantan dengan nama samaran Maidi. Akhirnya pada 1941 tokoh yang menguasai seni mengubah wajah agar dapat lolos dari sergapan polisi rahasia Belanda tertangkap juga di Balikpapan dan dipindahkan ke penjara di Samarinda, Surabaya, dan Batavia. Ia pun rencananya akan dibuang ke Boven Digul dan ditahan di Penjara Garut untuk sementara. Akan tetapi, sebelum Sukarni dikirim ke Boven Digul, pada tahun 1942 Jepang telah masuk ke Indonesia dan berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda. Di jaman pemerintahan Jepang, Sukarni sempat bekerja di Sendenbu atau Barisan Propaganda dan Kantor Berita Antara.

Berdasarkan buku Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2014 yang diterbitkan oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Republik Indonesia Tahun 2014, sebagaimana dikutip oleh republika.co.id, Sukarni menjadi salah satu tokoh Angkatan Baru Indonesia yang bermarkas di Menteng Nomor 31 Jakarta, yang kini dikenal dengan Gedung Juang 45. Gerakan pemuda ini dimotori juga oleh Supeno, Chairul Saleh, dan Adam Malik yang kerap melakukan aktivitas untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Menurut Soediro dalam buku Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945 (1972) sebagaimana dikutip Bandung Mawardi dalam tulisan yang diterbitkan jawapos.com, Sukarni memang terlibat dalam pembentukan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia, 15 Juni 1945. Tujuan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia tersebut adalah, ”Mempersiapkan dan menjediakan tenaga Angkatan Baroe Indonesia oentoek membangoen Negara Kesatoean Repoeblik Indonesia jang berdasarkan kedaoelatan rakjat.” Selain Soekarni, tercatat pula Wikana, Chaerul Saleh, Asmara Hadi, B.M. Diah, dan Harsono Tjokroaminoto yang tampil dan bergerak bersama dengan kaum muda revolusioner.

Gerakan ini kemudian menjadi terkenal ketika melakukan “penculikan” dalam rangka mendesak Soekarno dan Hatta agar memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa turut campur Jepang dengan membawa kedua tokoh tersebut ke Rengasdengklok. Kejadian tersebut diawali ketika Soekarno dan Hatta telah bertemu dengan Laksamana Muda Maeda untuk memastikan apakah Jepang benar-benar telah menyerah kepada sekutu. Menurut Hatta dalam buku Memoir (2002), dirinya kemudian mengusulkan kepada Soekarno agar Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diadakan pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah Soekarno setuju, Soebardjo yang menjadi pembantu utama Hatta sebagai Wakil Ketua Panitia diinstruksikan untuk menginformasikan semua anggota agar hadir pukul 10.00.

Akan tetapi kaum muda menolak proklamasi dilakukan tanggal 16 Agustus 1945 karena ingin agar proklamasi dilakukan bukan karena pengaruh atau didukung Jepang. Mereka mendatangi rumah Hatta dan Soekarno memaksa agar kedua pemimpin tersebut bersikap revolusioner. Bahkan di rumah Soekarno, malam hari pada tanggal 15 Agustus 1945 kaum muda meminta agar sebelum jam 12 malam saat itu juga sudah ada pernyataan kemerdekaan. Dalam memori Hatta, Wikana sempat mengatakan, “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman Kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah.”

Menurut Hatta, tatkala mendengar ancaman itu, Soekarno naik darah, menuju Wikana sambil menunjukkan lehernya dan berkata, “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok.” Wikana terperanjat dan berkata, “ Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau memperingatkan, apabila kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro Belanda...”. (Hatta, 2002: 445).

Pembicaraan tersebut berakhir macet karena Hatta, Soekarno, Soebardjo dan dr. Boentaran bersepakat bila pemuda bersikap keras untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka pada malam itu juga, lebih baik mereka mencari seorang pemimpin sebagai penyokong revolusi. Perundingan macet dan rapat diputuskan bubar saja (Hatta, 2002: 446). Kemudian terjadilah peristiwa Rengasdengklok yang mengakibatkan PPKI tidak jadi rapat pada tanggal 16 Agustus 1945.

Menurut Sejarawan Prof. Dr. Aminudin Kasdi yang dikutip tribunnews.com, pada situasi yang genting itu, memang Sukarni lah dengan seragam Pembela Tanah Air (PETA) yang datang ke Soekarno dan membawanya ke Rengasdengklok. Selain itu aktor penculikan lain adalah Chaerul Saleh. Berdasarkan tulisan Bandung Mawardi, Soekarno telah mendeskripsikan kedatangan Soekarni kepada C. Adams. “Di rumah Soekarno si penculik itu muncul membawa pisau panjang dan pistol. Soekarni meminta Soekarno bersiap untuk diangkut ke Rengasdengklok. Soekarno menuruti meski sempat marah dan memberi bantahan bahwa revolusi kaum muda itu bakal gagal. Soekarno menduga bakal gagal jika menjalankan siasat revolusi kaum muda.”

Berdasarkan kajian Bandung Mawardi, Hatta dalam buku Sekitar Proklamasi (1970) telah pula memberi kesaksian bahwa kedatangan Sukarni memang bermisi menculik. Menurutnya, “Kejadian berlangsung saat Hatta sedang sahur. Soekarni dan para pemuda datang ke rumah, bermaksud menculik Hatta agar bisa dikeluarkan dari Jakarta. Mereka bertindak dengan nafsu revolusioner. Mereka ingin memaksa Soekarno-Hatta membuat proklamasi untuk Indonesia tanpa penundaan dan intervensi Jepang. Hatta memberi sangkalan bahwa rencana Soekarni dan kaum muda itu fantasi belaka dan akan terbentur realitas. Soekarni tak menggubris. Hatta tetap dibawa ke Rengasdengklok, 16 Agustus 1945.”

Pada tanggal 16 Agustus 1945 sore, mereka kemudian mengantarkan kembali Soekarno dan Hatta ke Jakarta dan malam harinya dilakukan perumusan naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol Nomor 1 yang saat itu merupakan kediaman Laksamana Muda Maeda. Terjadi pula kejadian menegangkan setelah rumusan proklamasi dibuat. Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab (1978) yang dikutip Bandung Mawardi menerangkan, Soekarno dan Hatta sempat menawarkan dokumen bersejarah itu ditandatangani orang-orang yang ada rumah Maeda. Orang-orang diam dan tidak memberi jawaban. Sukarni lah yang kemudian memberi jawaban bahwa tidak semua orang harus ikut menandatangani naskah proklamasi. Dia menganjurkan agar Soekarno-Hatta saja yang menandatangani naskah atas nama seluruh rakyat Indonesia yang kemudian disetujui semua peserta rapat.

Setelah proklamasi kemerdekaan, kiprah Sukarni berlanjut dengan memprakarsai pengambilalihan aset Jepang untuk republik dari mulai Kereta Api di Manggarai, angkutan umum dan juga stasiun Radio. Salah satu kegiatan monumental yang melibatkan Sukarni adalah kejadian apel besar atau rapat raksasa di Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (IKADA) pada September 1945. Sukarni kemudian terpilih sebagai salah satu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan termasuk ke dalam kelompok yang menentang perundingan dengan Belanda.

Pada 1948 setelah pembentukan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) bersama Tan Malaka, Sukarni kemudian terpilih sebagai Ketua Umum Partai Murba yang pertama. Selain itu, Sukarni sempat menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan (PP) dengan Ketua Tan Malaka.
Sejak 1960 hingga 1964, Sukarni bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Tiongkok dan Mongolia. Salah satu tugasnya adalah melobi Tiongkok untuk membantu Indonesia dalam pembebasan Irian Barat. Pada Januari 1965, Sukarni dimasukkan penjara karena menentang Presiden Sukarno. Menurut Dr. Emalia Iragiliati Sukarni-Lukman, putri bungsu Sukarni, karena di dalam bui itulah Sukarni justru selamat dari penculikan yang ditengarai dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia pada September 1965. "Ada dua tentara Tjakrabirawa yang hendak menjemput Bapak tapi tidak berhasil. Karena selama di dalam penjara Bapak dilindungi oleh Polisi Militer," kata Emalia sebagaimana dikutip tempo.co.

Sukarni kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung pada 1967-1971. Beliau wafat pada 7 Mei 1971 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sebelum menerima gelar Pahlawan Nasional pada 2014, Sukarni Kartodiwirjo telah pula menerima Bintang Mahaputera Utama dan Bintang Mahaputera Adipradana.

Daftar Bacaan:
Mohammad Hatta, Memoir, Yayasan Hatta, 2002.

Bandung Mawardi, “Penculik itu Pahlawan”, [http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/9029/Penculik-Itu-Pahlawan] diakses 9 Desember 2014.

[http://nasional.kompas.com/read/2014/11/07/18105271/Ini.Profil.Empat.Tokoh.yang.Diberikan.Gelar.Pahlawan.Nasional.oleh.Presiden.Jokowi] diakses 9 Desember 2014.

[http://m.tribunnews.com/nasional/2013/10/27/sukarni-si-penculik-bung-karno-diusulkan-jadi-pahlawan-nasional] diakses 9 Desember 2014.

[http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/09/ner5rk-ironis-jasa-sukarni-baru-diakui-tahun-ini-sebagai-pahlawan-nasional] diakses 9 Desember 2014.

[http://m.tempo.co/read/news/2013/10/26/078524951/Putri-Sukarni-Bapak-Bukan-Komunis] diakses 9 Desember 2014.

[http://m.detik.com/news/read/2014/11/07/184024/2742389/10/sukarni-kartowirjo-sosok-penting-di-balik-sejarah-teks-proklamasi-ri] diakses 9 Desember 2014.

[http://www.tuanguru.com/2012/09/biografi-singkat-sukarni-pejuang-kemerdekaan.html?m=1] diakses 9 Desember 2014.

[http://m.detik.com/news/read/2014/11/07/151506/2742093/10/presiden-jokowi-beri-gelar-pahlawan-nasional-untuk-4-orang] diakses 9 Desember 2014.


#Telah dimuat di Majalah Konstitusi 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SETJEN DAN KEPANITERAAN MK RI

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Organisasi yang ideal mampu mencapai tujuan secara optimal. Untuk itu organisasi dapat berulangkali melakukan perubahan organisasional dan perencanaan sumber daya manusia (SDM) agar tujuan dan sasarannya dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal inilah yang melatarbelakangi Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI menyelenggarakan rapat koordinasi "Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI" pada 23-25 Maret 2007 di Jakarta. Sekretaris Jenderal MK RI, Janedjri M. Gaffar, dalam rapat koordinasi menyatakan bahwa Keputusan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi No. 357/KEP/SET.MK/2004 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI memang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu menurut Janedjri idealnya harus melalui analisis jabatan dan analisis manajemen. "Penyempurnaan ini diharapkan dapat komprehensif yaitu dengan mendasarkan pada teori organisasi dan