Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Judul
Penelitian: Minority Rights and Regionalism in Indonesia -- will Constitutional
Recognition Lead to Disintegration and Discrimination?
Penulis:
Gary F. Bell
Sumber:
Singapore Journal of International and Comparative Law, 2001
Gary F. Bell seorang akademisi dari National University
of Singapore menulis tentang hak minoritas dan regionalisme di Indonesia pada
tahun 2001. Penelitian yang dilakukannya tersebut dalam konteks pengakuan
konstitusi sejak Perubahan Kedua UUD 1945 dengan mempertanyakan, apakah akan
mengarah pada disintegrasi?
Satu hal yang menarik dari tulisan tersebut adalah
retorika 'satu nusantara, satu bangsa, satu bahasa, satu Indonesia' yang menurutnya, merupakan slogan integrasi
nasional sejak kemerdekaan tahun 1945, walaupun sering dikaitkan dengan upaya
jawanisasi. “The reality might have been
the domination of the Javanese in political and national institutions, and
resentment might have been growing for years, but the rhetoric was one of
integration and equality of all,” ujarnya.
Menurut Gary, akibat adanya demokratisasi di Indonesia,
kelompok minoritas semakin diakui haknya, paling tidak oleh hukum dan
konstitusi. Akan tetapi, timbul kekhawatiran apakah dengan pengakuan tersebut
akan dapat menciptakan disintegrasi bangsa. Tulisannya memang memaksudkan untuk
melakukan kajian perbandingan hukum konstitusi dengan melihat norma konstitusi
Indonesia setelah dilakukannya perubahan kedua dengan mengaitkannya dengan isu
penguatan hak minoritas dan integrasi nasional.
Paling tidak dalam sejak perubahan UUD 1945, menurut Gary
perlu dikaji antara lain, Individual (non-collective) rights, Individually
Exercised Minority Rights, dan Collectively Exercised Minority Rights (Powers) –
Decentralisation. Ketiganya telah dilihat secara konstekstual kenyataan
kehidupan dan kaitannya dengan aturan yang ada.
Temuan Gary sangat menarik. Menurutnya, Perubahan Kedua
UUD 1945 menciptakan perubahan signifikan bagi hukum konstitusi Indonesia.
Banyak yang beranggapan pengakuan hak yang ada telah mengarah pada pandangan
liberal atas hak individu. Walau demikian, terdapat pula hak kolektif bagi
kelompok minoritas. Selain itu, pemerintah pusat juga telah memberikan delegasi
kekuasaan bagi pemerintah daerah.
Selengkapnya Gary menyatakan, “The adoption of
the Second Amendment to the UUD45 has brought a significant change in the
orientation of Indonesian constitutional law. Many have looked at the amendment
from a liberal individualistic human rights point of view. The adoption of a
long list of individual rights is certainly a very significant paradigm shift.
This paper however has focused on minority rights qua minority. A few
collective rights have been granted to individual members of minority
communities. More importantly however, the central government has delegated
many of its powers to local communities.”
Menurut Jimly Asshiddiqie,
dalam artikel “Aktualisasi dan Perbandingan ideologi” yang disampaikan dalam acara
“Pelatihan Perkaderan Fungsional Tingkat Nasional Bidang Hukum Dan OTDA”, Jakarta,
11 Februari 2006, Perubahan Kedua yang
dilakukan dalam sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2000 memang
meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah,
menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan
Rakyat, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang hak asasi manusia.
Terkait dengan hal tersebut, Gary dalam
konklusi tulisannya menyampaikan kekhawatiran dengan adanya porsi yang besar
bagi hak individu dan hak kolektif dalam konstitusi jika dihubungkan dengan
masih banyaknya diskriminasi terhadap minoritas akan mengguncang integrasi
Indonesia. “The claims
of group rights and of rights of group members against the unitary State of
Indonesia when combined with new individual claims of human rights has
radically changed the paradigm of the Indonesian states. A much greater portion
of the constitution is now devoted to individual and collective rights and
powers rather than to the unity of the State. This need not in principle, spell
disunity: a state more respectful or individual and collective identities may
win the hearts of more Indonesians. There are however early signs that do not
augur well. The increasing
discrimination against ethnic minorities and the sometimes aggressive
assertiveness of the newly empowered regions are worrying. These tendencies
could easily be exploited by power hungry politicians who could use them for their owned benefit and
enrichment.”
Kekhawatiran berikutnya adalah
ketidakmampuan pengadilan dan tidak ditegakkannya konstitusi akan mengakibatkan hak-hak yang telah ditentukan dalam konstitusi hanya
bersandarkan pada kepentingan politik. “More worrisome, in a system where the courts are powerless and the
constitution is not enforced, it is very likely that collective rights as
opposed to individual rights will be politically enforced. This could mean that
regional governments will exercise their powers for the majority ethnic group
in their region and discriminate against minorities: it is the politically
expedient thing to do.”
Kekhawatiran Gary tersebut
tentu bisa dipahami. Karena pada saat tulisannya dibuat, secara bersamaan Perubahan
Ketiga pada tahun 2001 telah memberikan jawaban atas kekhawatirannya. Pada
tahun tersebut, reformasi konstitusi memperkuat sistem check and balances dengan menghadirkan satu lembaga baru, yaitu
Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 24 UUD 1945 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk; (a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
(b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945; (c) memutus pembubaran partai politik; dan (d) memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga
(e) wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam artikel
“Negara Hukum dan Good Governance” yang disampaikan dalam Musyawarah Wilayah
(MUSWIL) ICMI Riau, Sabtu 10 Juni 2006, kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi
sering disebut sebagai “judicial review”
dan/atau “constitutional review” yang merupakan perkembangan gagasan modern
tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan
kekuasaan (separation of power),
serta perlindungan hak asasi manusia (the
protection of fundamental rights).
Dalam sistem “constitutional review”, menurut Jimly, tercakup dua tugas pokok,
yaitu: 1. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau “interplay” antara cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Constitutional
review dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyahgunaan
kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan; 2. Untuk melindungi setiap individu
warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan
hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.
Keberadaan dan
aktivitas Mahkamah Konstitusi selama ini juga telah menjawab kesimpulan lainnya
dari Gary yang menyatakan, “It
is too early to see whether this scenario will prevail but we must remain
attentive to the recent developments so as to quickly learn lessons for the
forthcoming round of constitutional reform. Increased discrimination and
further disintegration are serious possibilities. The solution that many
Indonesian activists are likely to favour may well be a new constitutional
court that could enforce the individual as well as the collective rights
protected by the constitution. Given the track record of courts in Indonesia, I
remain skeptical. Although a change of political culture (and, in my dreams, of
politicians) is much more difficult to achieve, it might be the only long-term
solution -- constitutions without a democratic culture are not worth much.”
Tulisan yang telah
dipresentasikan dalam 'Joint Northwest Regional
Consortium for Southeast Asian Studies and Canadian Council for Southeast Asian
Studies Conference' yang diselenggarakan the Centre for Asia-Pacific
Initiatives at the University of Victoria, Canada and the University of
Victoria pada 25-27 Oktober 2001 dan disampaikan dalam staff seminar Faculty of Law of the
National University of Singapore pada
24 Oktober 2001 telah cukup
memberikan gambaran sejauh mana dialektika hak minoritas dan hak kolektif dapat
dikaitkan dengan kondisi kontekstual suatu negara in casu Indonesia, khususnya terkait dengan masalah integrasi.
#telah dimuat di Majalah Konstitusi, September 2015
Comments