Skip to main content

Liem Koen Hian: Pendiri Partai Tionghoa Indonesia, Penyampai Keinginan Peranakan Tionghoa menjadi Warga Negara Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


Liem Koen Hian lahir di Banjarmasin pada tahun 1896. Sempat menerima pendidikan formal di sekolah dasar Belanda. Selanjutnya dengan usaha dan belajar sendiri akhirnya beliau berhasil lulus ujian masuk Sekolah Hukum di Jakarta. Pada tahun 1915 sampai 1916, beliau menjadi Ketua Dewan Direksi berbagai surat kabar yang berkiblat ke Tionghoa, yaitu Tjhoen Tjhioe. Setelahnya, Liem juga aktif pada berbagai surat kabar, seperti Sao Lim Po (1917), Sinar Sumatra (1918-1921), dan Pewarta Surabaya (1921-1925).

Berdasarkan bagian Biodata Anggota BPUPKI buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 yang diterbitkan Sekretariat Negara Republik Indonesia (Jakarta, 1998:480), Liem kemudian berkiblat pada pergerakan Indonesia dengan mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Partai tersebut jelas berpihak kepada kaum Nasionalis Indonesia.

Ketika Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) membuka keanggotaan bagi kaum perananakan Tionghoa, Liem beralih dari PTI dan menjadi anggota Gerindo. Pada tahun 1938, Liem juga sempat menerbitkan sebuah buku yang menentang imprealisme Jepang. Kemudian Jepang menguasai wilayah Indonesia. Pada waktu itu beliau ditahan, tetapi akhirnya dilepaskan kembali.

Anggota BPUPKI Golongan Timur Asing
Perkembangan selanjutnya ketika Jepang menduduki Indonesia, dibentuklah Dokuritsu Zyunbi Cosakai atau Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) masing-masing pulau Jawa dan Sumatera. BPUPKI untuk Pulau Jawa dipimpin oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat, sedangkan BPUPKI untuk Pulau Sumetera dipimpin oleh Muhammad Sjafei.

Menurut Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, dalam buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, BPUPKI untuk Pulau Jawa yang mempunyai arti penting untuk Indonesia karena badan ini yang menghasilkan cikal bakal UUD 1945, sedangkan BPUPKI untuk Pulau Sumatera yang baru dibentuk pada 25 Juli 1945 hanya dapat menyusun program-program berjangka pendek.

Liem Koen Hian yang kemudian ditunjuk menjadi salah satu anggota BPUPKI untuk Pulau Jawa dan dalam pelantikan BPUPKI pada 28 Mei 1945 mewakili golongan Timur Asing keturunan kaum Tionghoa. Selain beliau, perwakilan kaum keturunan Tionghoa dalam BPUPKI tersebut adalah Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei dan Mr. Tan Eng Hoa.

Berdasarkan  kajian Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, dalam perdebatan dalam sidang BPUPKI mengenai warga negara Indonesia, penduduk golongan Timur Asing keturunan Tionghoa terbagi, antara mereka yang berkehendak dinyatakan sebagai warga negara, yaitu Liem Koen Hian dan mereka yang tidak ingin menjadi warga negara, yaitu Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei dan Mr. Tan Eng Hoa.

Nasionalisme dan Kebangsaan Tionghoa
Liem Koen Hian dalam Sidang Kedua BPUPKI, Rapat Besar tanggal 11 Juli 1945 menyampaikan pendapatnya terkait nasionalisme dan kebangsaan Tionghoa dengan mengaitkan pendapat Dr. Soen Jat Sen. “Dokter Soen Jat Sen membicarakan pentingnya nasionalisme atau perasaan kebangsaan buat bangsa Tionghoa, oleh karena pendirian bangsa Tionghoa dahulu itu berlawanan; dari itu bangsa Tionghoa terhadap imprealisme barat yang masuk di Tiongkok, kelihatannya lemah sekali. Dari sebab itu Dokter Soen Jat Sen merasa perlu mengobar-ngobarkan perasaan Toonghoa di Tiongkok. Akan tetapi buat kita, orang Tionghoa dan keturunan Tionghoa yang tinggal di luar negera, keadaan itu sudah lain lagi, tidak bisa disamakan dengan keadaan tadi. Dan oleh karena itu, juga pendirian kita harus lain, ialah dengan memegang teguh asas yang sudah dipuja beribu tahun oleh pujangga dan rakyat Tionghoa di Tiongkok, yaitu bangsa Tionghoa tidak mengenal badan bangsa. Buat kita yang menjadikan turunan Tionghoa di luar negara, hal itu gampang. Kita bekerja guna negara, di mana kita dilahirkan dan menjadi besar.”

Selanjutnya beliau menjelaskan lebih lanjut prinsip kebangsaan Tionghoa. “Menurut sejarah Tiongkok, bangsa Tionghoa sudah tidak ada lagi. Bisa jadi di permulaan sejarang Tiongkok ada satu gunndukan manusia yang bisa menamakan dirinya bangsa Tionghoa, tetapi dalam ribuan tahun sejarah Tiongkok, berbagai-bagai bangsa Tiongkok bercampur darah dengan bangsa Tioghoa yang asli sehingga tidak bisa dikatakan lagi bahwa masih ada raszuiverheid dalam bangsa Tionghoa.”

Kemudian, untuk menguatkan pendapatnya, Liem mengutip berbagai pakar yang dia ketahui dan kenal. “Seorang Ethnoloog, seorang Tionghoa totok, pernah menulis sebuah buku, dimana ia menceritakan, bahwa percampuran darah bangsa Tionghoa aseli dengan berbagai-bagai bangsa di sekitar Tiongkok sudah terjadi begitu banyak, sehingga pada hari ini tidak bisa dikatakan bagaimanakah sifat orang yang dinamakan orang Tionghoa itu. Orang Tiongkok Utara mempunyai pandangan muka, badan, bentuk kepala yang lain sekali daripada orang Tiongkok Selatan. Warna kulitnya ada yang kuning, hitam, putih, begitu banyak macamnya. Dari sebab itu tidak bisalah dijawab kalau ditanya, apakah yang dinamakan bangsa Tionghoa itu.... Kira-kira 10 tahun lalu, datang di tanah Jawa sini seorang Sosioloog, guru besar di Chung Hui University di Peiping. Sesudah keliling mengunjungi berbagai-bagai tempat di tanah Jawa ini dan di seberang, saya bertemu dengan dia di Jakarta, dan diajak bercakap-cakap membentangkan soal peranakan Tionghoa. Saya katakan, bahwa peranakan Tionghoa tidak masuk orang Tionghoa lagi, beliau setuju dan sambutan beliau didasarkan atas arti kultural. Dalam arti kultural, Tuan Ketua, peranakan Tionghoa di tanah Jawa bukan bangsa Tionghoa lagi. Maka, kalau kita di Jawa khususnya, di Indonesia umumnya, ditanya apakah kebangsaan kita, saya jawab, bahwa dalam arti kultural kita bukan bangsa Tionghoa; mungkin dalam arti politik pun kita bukan bangsa Tionghoa lagi, sebab kita tinggal di daerah asing dan tunduk kepada pemerintah asing.”

Keinginan Menjadi Warga Negara Indonesia
Liem Koen Hian dalam kesempatan tersebut menjelaskan juga upaya dan perjuangan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang sudah dimulai sejak 15 tahun sebelumnya yang menghadapi macam-macam perlawanan dari pemerintah kolonial yang tidak suka melihat persatuan bangsa Tionghoa dan bangsa Indonesia. Bahkan, menurutnya dalam perjuangannya tersebut, mereka merupakan rakyat negeri Indonesia. “Saya boleh menganggap kawan-kawan anggota yang terhormat, sudah kenal sejak dahulu kepada tujuan partai yang saya pimpin, yaitu Partai Tionghoa Indonesia. Buat kita tidak ada soal lagi. Kita rakyat negeri ini. Kita bersedia membantu dengan apa yang kita dapat, untuk kebesaran negeri ini.”

Liem juga sangat jelas dan terbuka menyampaikan keinginan berbagai keturunan Tionghoa yang menginginkan agar keturunan Tionghoa dapat menjadi warga negara Indonesia. Berikut pernyataannya: “... pemuka-pemuka dari bangsa Tionghoa di Malang dan di Surabaya telah meminta kepada saya, agar disampaikan kepada Badan Penyelidik, supaya diwaktu mengadakan Undang-Undang Dasar Indonesia, biar ditetapkan saja, bahwa semua orang Tionghoa menjadi warga Indonesia. Juga di Bandung,...”

Pada Sidang Kedua pada tanggal 15 Juli 1945, Liem Koen Hian menegaskan kembali keinginan pemuka-pemuka bangsa Tionghoa di Priangan, Malang, dan Surabaya agar semua orang Tionghoa pada saat itu menjadi warga negara Indonesia, tetapi diberi kemerdekaan, bahwa siapa yang tidak suka boleh menolak. “... terhadap peranakan Tionghoa, selain soal praktische zin, orang Tionghoa di tanah Jawa barangkali tidak ada beberapa puluh, beberapa ratus orang yang bisa meninggalkan tanah Jawa. Ini bisa kita buktikan di mana sebelum ada perang, pelabuhan Tanjung Priok, Semarang dan Tanjung Perak, terbuka llebar. Waktu itu ada kesempatan secukupnya untuk meninggalkan negeri, akan tetapi apakah kita lihat? Tidak ada beberapa orang Tionghoa yang meninggalkan negeri ini buat tinggal di Tiongkok. Bukan saja yang mesti bekerja tidak meninggalkan negeri ini, malahan pemuda-pemuda dari sini yang pergi ke Tiongkok untuk bersekolah setamatnya bukannya tinggal di sana, akan tetapi kembali kemari.”

Memilih Menjadi Warga Negara Tiongkok
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Liem diangkat menjadi anggota KNIP dan bahkan menjadi anggota delegasi Indonesia ke Konferensi Renville. Dalam konferensi tersebut, delegasi Belanda yang merupakan perwakilan masyarakat Tionghoa adalah Thio Thiam Tjong.
Menurut Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, pendirian Liem Koen Hian kembali berkiblat ke Tiongkok. Pada tahun 1951, dia ditahan oleh pemerintah di bawah Perdana Menteri Soekiman dengan tuduhan menjadi agen Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Setelah dibebaskan ia menyatakan menolak kewarganegaraan Indonesia. Setahun kemudian beliau wafat di Medan sebagai seorang pengusaha yang memegang kewarganegaraan RRT. 

Daftar Bacaan:
Safroedin Bahar, dkk. (Penyunting). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Sekretariat Negara Republik Indonesia (Jakarta: 1998).


#Telah dimuat di Majalah Konstitusi, Juli 2015


Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku in...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...