Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
Luthfi Assyaukanie dalam
buku Ideologi Islam dan Utopia, Tiga
Model Negara Demokrasi di Indonesia (2011) menyebutkan paling tidak secara
umum, terdapat tiga model pemerintahan yang dibayangkan dan didukung oleh tiga
generasi Muslim Indonesia, yaitu pertama,
Negara Demokrasi Islam yang bertujuan menjadikan Islam sebagai dasar negara,
serta mendorong kaum Muslim mengambil peran utama dalam kehidupan sosial dan
politik Indonesia. Kedua, Negara
Demokrasi Agama, yakni model yang menekankan pentingnya kehidupan pluralis di
Indonesia dan bertujuan menjadikan negara pengawal semua agama. Ketiga, Negara Demokrasi Liberal, yang
dapat juga disebut Negara Demokrasi Sekular yang bertujuan membebaskan agama
dari dominasi negara (seperti yang diusung model kedua) dan mengusung
sekularisasi sebagai fondasi negara.
Terkait dengan itu, menurut
Assyaukanie, Mohammad Natsir (1908-1993) adalah tokoh penting baik dalam wacana
intelektual tentang Islam maupun dalam sejarah politik di Indonesia pada
umumnya. Bahkan istilah “Negara Demokrasi Islam” pada awalnya dikemukakan
olehnya dalam pernyataan, “negara yang
berdasarkan Islam bukanlah teokrasi. Ia adalah Negara Demokrasi. Ia bukan juga
negara sekular. Ia adalah Negara Demokrasi Islam”.
Tulisan “Jejak
Konstitusi” kali akan membahas mengenai Natsir, seorang tokoh islam yang tidak
hanya memperkenalkan istilah “Negara Demokrasi Islam”, tapi juga pemimpin yang
paling konsisten mendukung gagasan itu. Menurut Assyaukanie dalam buku yang
mulanya merupakan karya Disertasi Ph.D di Universitas Melbourne, Natsir sejak
awal telah berkontribusi pada perdebatan seputar isu-isu Islam sejak masa
prakemerdekaan, ketika dia dan Soekarno mendiskusikan isu Islam dan
nasionalisme.
Lahir di Alahan Panjang
yang dahulu disebut Lembah Gumanti, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908, Mohammad
Natsir sempat bersekolah di Holland Inlander School (HIS) Adabyah, HIS Solok,
dan HIS Padang hingga lanjut pada Meer Uitgebreid Loger Onderwijs (MULO) Padang
yang setingkat dengan sekolah menengah pertama. Saat di MULO, Natsir muda
belajar bermain biola dan mengikuti Jong Islamiten Bond (JIB).
Lulus dari MULO, Natsir
hijrah ke Pulau Jawa menuju Algemeene Middelbare School (AMS) Bandung, sekolah
menengah atas Belanda. Di sana Natsir masuk jurusan AMS Afdeling A-II yang
khusus mempelajari sastra dan humaniora barat sehingga Natsir dapat belajar
bahasa latin, kebudayaan, dan filsafat yunani. Natsir pernah menjadi juara 1
lomba Deklamasi Bahasa Belanda dengan menggunakan satu syair karangan Multatuli
berjudul “De Bandjir” dan mendapat hadiah buku karangan Westenenk, Waar Mensen Tigger Buren Ziyn (Manusia
dan Harimau Hidup Sejiran).
Saat di AMS, Natsir
bergabung dengan JIB cabang Bandung yang didirikan oleh Haji Agus Salim dan
Wiwoho Purbohadijoyo. Di sana pula Natsir berkenalan dengan Mohammad Roem,
Prawoto Mangkusasmito dan Kasman Singodimedjo para kolega yang kelak menjadi
tokoh penting Masyumi, partai yang didirikannya nanti. Natsir kerap pula
bergaul dengan tokoh pergerakan waktu itu. Natsir bahkan pernah mendengarkan
pidato Soekarno dalam Rapat Umum Partai Nasional Indonesia, 17 Oktober 1929.
Salah satu tokoh yang
sangat berpengaruh pada diri Natsir muda adalah Ahmad Hassan (1887-1962),
pemimpin karismatik Persatuan Islam (Persis) seorang pria keturunan India asal
Singapura yang mengajari Natsir pelajaran agama secara informal. Dari Hassan
pula, Natsir mendapat terjamahan Al-Quran dalam bahasa Inggris oleh Muhammad
Ali dan Tafsir Al-Furqan karya Hassan. Selain Hassan, pemikiran Natsir juga
dipengaruhi Haji Agus Salim dan Ahmad Sjoorkati, seorang ulama asal Sudan
pendiri Al-Irsyad.
Pada usia 23 tahun, dia
mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis) yang menggabungkan pendidikan
islam dengan pengetahuan umum. Di sekolah itu, Natsir memberikan keleluasaan
pemikiran bagi murid-muridnya degan mengurangi hafalan, berkebun, belajar piano
bahkan mementaskan lagu, sandiwara musik, dan kerajinan tangan. Selain itu,
Natsir juga aktif pada Majalah Pembela
Islam. Dalam salah satu tulisan awalnya, menurut Assyaukanie, Natsir sebenarnya
dengan sangat hati-hati menerima demokrasi. Dia berargumen bahwa ada beberapa
hal dalam Islam yang dianggap final, sehingga tidak ada ruang bagi orang untuk
membahasnya. Baginya, isu-isu seperti pelarangan perjudian dan pornografi tidak
bisa dibahas atau di-vote di dalam
parlemen. DPR tidak punya hak membahas hal-hal itu. Pada 1930, Natsir juga terlibat dalam
perdebatan tentang Nasionalisme di mana dia berpihak kepada gurunya, A. Hassan,
menentang Soekarno. Pada 1939, juga kerap Natsir menulis serangkaian artikel
tentang Islam dan Nasionalisme di Pandji
Islam dan Pedoman Masjarakat.
Dari 1949-1958, Natsir
mengetuai Partai Masyumi dan pada 1950 menjadi Perdana Menteri. Kepiawaian
Natsir dalam berpolitik terlihat ketika menjadi Ketua Fraksi Masyumi yang
mengajukan Mosi Integrasi di
parlemen Republik Indonesia Serikat. Lobi dilakukan berbulan-bulan hingga
Natsir mengajukan gagasan kompromistis agar semua negara bagian bersama-sama
mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Usulan tersebut
diterima pemimpin fraksi lain. Pemerintah yang diwakili Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta pun menyetujui mosi
tersebut. Akhirnya pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan Piagam
Pembentukan Negara Kesatuan. Pada 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno
mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia.
Karena kejadian politik
di masa itu, Natsir kemudian melibatkan diri pada gerakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) sehingga Natsir bersama keluarga ikut
hijrah dan bergerilya ke Sumatera Barat. Setelah tiga tahun meninggalkan
Jakarta, pada tahun 1961 mereka menyerah dan Natsir menjadi tahanan politik.
Setelah Orde Lama berganti menjadi Orde Baru, Natsir pun dibebaskan dan
menyingkir dari dunia politik, Natsir mendirikan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada Mei 1967. Walau demikian, Natsir
ikut meneken Petisi 50 pada 5 Mei 1980 yang mengakibatkan dirinya dicekal oleh
pemerintahan Orde Baru.
Pengaruh pandangan Natsir
tentang islam sangat terasa di masa itu. Dalam pidato yang dia sampaikan di
Pakistan Institute of World Affairs pada 1952, dia sempat berkata, “Sebagian besar orang Amerika, dan maksud
saya Amerika Serikat,menganggap negeri mereka dan bangsa mereka Kristen.
Almarhum presiden mereka, Franklin Delano Roosevelt, secara terbuka sangat
Kristen dan selama perang dunia lalu jarang tidak menyebut-nyebut Kekristenan
dalam seruannya terhadap bangsa-bangsa di dunia…. Tapi begitu kita, setelah
berhasil mendapatkan kemerdekaan kita, menyatakan diri kita sebagai bangsa
Islam, langsung saja keprihatinan dinyatakan tentang kita “menuju teokratis”.
Ada orang yang menerimanya begitu saja, misalnya oleh James A. Michener. Dalam
bukunya Voice of Asia dia mengutip pembicaraannya dengan yang mulia Miss
Jinnah. Mr. Michener mengatakan bahwa “mengherankan bahwa Mr. Jinnah, yang
bukan orang yang sangat beragama, ternyata mendirikan teokrasi”. Putri
terhormat itu, saudara perempuan Qa’id-a-Adzam yang agung itu (semoga rahmat Allah ada di atasnya),
membalas, “apa maksudmu, teokrasi! Kami adalah Negara Muslim. Itu tidak berarti
negara agama. Itu berarti negara untuk Muslim…” dan lagi: “Kami bukan negara
yang diselenggarakan imam atau hierarki. Kami adalah negara yang diatur menurut
prinsip-prinsip Muslim. Dan bisa saya katakan itulah prinsip-prinsip yang baik
untuk mengatur sebuah negara.” (Assyaukanie: 2011).
Dalam tulisan dan kajian
Assyaukanie, bagi Natsir negara bukanlah tujuan akhir bagi Muslim. Ia adalah
“alat”—menurut istilah Natsir sendiri—yang bisa dipakai Muslim untuk memelihara
kewajiban agamawi dan duniawi mereka. Sebagai alat, negara harus fleksibel dan
harus bisa mencapai tujuan tertinggi Islam, yakni, penerapan syariat, sehingga
dilihat dari sudut pandang pemikiran politik Islam klasik, menurut Assyaukanie,
konsep Natsir akan negara sangatlah progresif.
Natsir menulis, “Dengan atau tidak
dengan Islam, negara memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri sebelum dan
sesudah Islam, di mana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama
dalam satu masyarakat. Pada zaman onta dan pohon korma ada negara, pada zaman
kapal terbang ada negara. Negara pada zaman onta, sebagaimana yang munasabah
dengan zaman itu dan negara pada zaman kapal terbang, sebagaimana yang
munasabah dengan zaman kapal terbang pula.” (Assyaukanie: 2011).
Walaupun hanya lulusan
AMS, Mohammad Natsir adalah otodidak pandai. Dia mempelajari dan mampu
menggunakan enam bahasa asing: Latin, Belanda, Jerman, Prancis, Inggris, dan
Arab. Walau demikian, Natsir tidak pernah menulis buku, akan tetapi
artikel-artikelnya telah dihimpun ke dalam beberapa buku seperti Capita Selecta. Bandung:
W. van Hoeve, 1954; Some Observations
Concerning the Role of Islam in National and International Affairs; an
Address Originally Made before the Pakistan Institute of World Affairs with
Subsequent Elucidatory Additions. Ithaca: Southeast Asia Program Dept. of Far
Eastern Studies Cornell University, 1954; Persatuan
Agama dengan Negara. Padang: Jajasan Pendidikan Islam, 1968; Islam dan Kristen di Indonesia. Bandung:
Peladjar dan Bulan Sabit, 1969; Kebudayaan
Islam dalam Perspektif Sejarah: Kumpulan Karangan. Jakarta: Girimukti
Pasaka, 1988. Islam Sebagai Dasar Negara.
Jakarta: DDII, 2000; dan Agama dan Negara
dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Da’wah, 2001.
Sumber
Bacaan:
Luthfi Assyaukanie. Ideologi Islam dan Utopia, Tiga Model Negara
Demokrasi di Indonesia, Freedom Institute (2011).
http://serbasejarah.wordpress.com
yang mengutip Majalah Tempo Edisi
“Politik Natsir Di Tengah Dua Rezim”.
#Telah dimuat di Majalah Konstitusi, Januari 2015.
Comments