Skip to main content

Mr. Mas Soesanto Tirtoprodjo: Menginginkan Indonesia Berbentuk Kerajaan

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono


“Maka untuk menjamin persatuan, kami merancangkan adanya Kepala Negara yang sangat bersahaja dan dicintai oleh rakyat, dapat dinobatkan jadi raja kemudian hari.”
Mr. Mas Soesanto Tirtoprodjo


Lahir di Solo, 3 Maret 1900, Mas Soesanto Tirtoprodjo yang dikenal sebagai salah seorang pakar hukum dari sedikit pakar di kala itu pernah bersekolah di ELS (diploma 1914) dan RS (diploma 1920). Selepas lulus dan mendapat gelar Meester in Rechten (Mr.) dari Universitas ternama Leiden bagian hukum di Belanda, Soesanto menjadi a.t.b. landr.  Yogyakarta dan Bogor dari tahun 1925 hingga tahun 1927.
Dari tahun 1927 hingga 1933, Mr. Soesanto bekerja di Kediri pada voorz landg. Sejak tahun 1933 hingga 1941, beliau ada di Gedep. Prov. Jawa Timur Surabaya. Pada saat itulah dia aktif dari tahun 1936 hingga 1941 menjadi anggota pengurus besar Parindra Surabaya. Pada 1 April 1949 menjadi burgemeester Madiun dan 29 April 1942, beliau merupakan Madiun Sityoo di masa pendudukan Jepang. Pada tahun 1945, Mr. Soesanto ditunjuk menjadi anggota Dokuritsu Zyunbi Cosakai atau Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Kajian Bentuk Negara
Dalam sidang Kedua, Rapat Besar tanggal 10 Juli 1945, Soesanto sempat menyampaikan kajian mengenai bentuk negara karena pada saat itu sedang diperdebatkan bentuk negara yang ideal bagi Indonesia. Seusai Ki Bagoes Hadikoesomo menyampaikan pandangannya, Ketua Rapat Radjiman kemudian mempersilahkan Soesanto menyampaikan pandangannya.
Soesanto kemudian berkata, “Paduka Tuan Ketua, tuan minta supaya kita menyatakan pendirian tentang bentuk negara. Menurut pendapat saya, bentuk mengenai 2 soal, yaitu pertama soal uni federasi: kedua soal republik atau kerajaan. Dengan singkat, akan saya bacakan apa yang telah diajukan, supaya jangan banyak-banyak minta waktu yang sekarang sangat berharga.”
Menurut Soesanto, terdapat tiga jenis susunan negara. Pertama, Uni dengan kriteria pemerintah pusat yang berhak berhubungan dengan luar negeri. Kedua, Federasi yang berbentuk Bondstaat, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah berhak berhubungan dengan luar negeri, serta pemerintah pusat berhak membuat aturan untuk semua penduduk. Ketiga, Statenbond, yaitu pemerintah pusat tidak berhak langsung membuat aturan untuk penduduk, melainkan melalui pemerintah daerah.
Selengkapnya Soesanto menyatakan, “Tentang uni atau federasi- sebab dalam rapat yang dahulu ada aliran yang suka kepada federasi dan yang menyukai uni- di sini pertama saya berpendapat bahwa kita harus memahamkan arti dan perbedaan antara uni dan federasi itu, yang mengenai 3 macam susunan negara. Uni: yang berhak untuk berhubungan dengan luar negeri, hanya dan melulu pemerintah pusat. Federasi yang bercorak Bondstaat: baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berhak berhubungan dengan luar negeri. Dan pemerintah pusat berhak mengadakan aturan langsung untuk semua penduduk. Adapun perbedaan antara Bondstaat dan Statenbond ialah demikian. Dalam negara yang bersifat Bondstaat baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berhak berhubungan dengan luar negeri. Tetapi di dalam Statenbond, pemerintah pusat tidak berhak langsung membuat aturan untuk penduduk, melainkan hanya dengan perantaraan pemerintah daerah.”
Selanjutnya, dalam Rapat Besar tersebut, Soesanto kemudian menyatakan, memilih bentuk Uni. “Dengan mengingat itu saya memilih bentuk Uni, seperti juga yang dirancangkandi dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang telah saya usulkan,” ujarnya.
Mengusulkan Indonesia Berbentuk Kerajaan
Sebuah usulan yang berbeda dari yang lainnya oleh Soesanto adalah keinginannya agar Indonesia berbentuk kerajaan. Walau demikian menurutnya, tidak ada satu raja dari raja-raja yang ada saat itu yang dapat diterima dengan puas oleh seluruh rakyat sebagai raja.
 Selengkapnya Soesanto menyatakan, “Tentang republik atau kerajaan, seperti saya alami di desa-desa, memang rakyat jelata hanya mengenal bentuk sebagai kerajaan mengenai pekerjaannya. Akan tetapi kita harus membentuk negara dengan segera. Jadi, sukarnya, ialah memilih raja pada waktu sekarang. Seandainya yang dipilih menjadi raja itu salah satu daripada raja-raja yang sekarang ada, maka menurut hemat saya, tidak adalah raja yang dapat diterima dengan puas oleh seluruh rakyat. Apabila yang dijadikan raja itu lain daripada raja-raja yang sekarang ada, maka pun menurut hemat kami mungkin ia oleh seluruh Rakyat diterima sebagai pemimpin negara tetapi tidak atau bellum sebagai raja.”
Oleh karena itu, Soesanto mengusulkan rancangan Undang-Undang Dasar yang mengatur norma bahwa Kepala Negara dipilih untuk beberapa lama, tetapi Kepala Negara yang dianggap sangat berjasa dan dicintai oleh rakyat dapat dinobatkan menjadi Raja. “Maka untuk menjamin persatuan, kami merancangkan adanya Kepala Negara yang sangat bersahaja dan dicintai oleh rakyat, dapat dinobatkan jadi raja kemudian hari. Saya cantumkan dalam rancangan Undang-Undang Dasar, bahwa Kepala Negara dipilih untuk beberapa lama, tetapi Kepala Negara yang sangat berjasa dan dicintai oleh rakyat dapat dinobatkan menjadi raja. Jadi, inilah dalam pokoknya pendirian saya tentang bentuk negara,” jelasnya.
Usulan Legal Drafting
Kontribusi pemikiran lain dari Mr. Soesanto adalah dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar pada tanggal 13 Juli 1945. Ketua Panitia saat itu, Ir. Soekarno,  mempersilahkan Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo untuk menyampaikan laporannya. Atas laporan rancangan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Soesanto mengajukan usulan, yaitu:
a.      Minta pembagian dalam bab-bab (hoofdstuk) dengan nomor Romawi. Untuk Bab I diusulkan titel” Bentuk dan Kedaulatan Negara”, dan selanjutnya supaya kata “tentang” dalam titel-titel dihapuskan.
b.      Pokok Uni supaya ditegaskan, dengan dinyatakanbahwa hanya Pemerintah Pusat boleh berhubungan dengan negara lain.
c.       Sifat pembentukan negara “di depan mata musuh”, supaya ditegaskan dalam Bab pertahanan negara.
Atas berbagai usulan tersebut, Ketua Panitia Kecil, Soepomo menyatakan, “Tentang a: tidak keberatan. Tentang b: tidak perlu ditegaskan; dalam negara merdeka hanya Pemerintah Pusatlah yang berhak berhubungan dengan luar negeri. Tentang c: pasal 38 sudah dipandang cukup.” Dengan demikian, hingga sekarang model legal drafting UUD 1945 mengikuti usulan dari Mr. Mas Soesanto Tirtoprodjo.
Atas jasa-jasa beliau, pemerintah Republik Indonesia memberikan tanda penghargaan, yaitu Bintang Gerilya Nomor 296 Tahun 1960, Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan No.Skep.228 Tahun 1961, dan Bintang Mahaputra Adipradana berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 048/TK/Tahun 1992, bertanggal 12 Agustus 1992. 

Daftar Bacaan:
Safroedin Bahar, dkk. (Penyunting).Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Sekretariat Negara Republik Indonesia (Jakarta: 1998).

#telah dimuat di Majalah Konstitusi, September 2015

Comments

Popular posts from this blog

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an...

Resensi: INTEGRASI TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DAN TEORI HUKUM PROGRESIF

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Judul Buku : Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif Penulis : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Penerbit : Genta Publishing Tahun Terbit : Maret 2012 Jumlah halaman : XVI + 128 halaman Berdasarkan pemaparan buku ini, sejak tahun 1970-an hingga saat ini, paling tidak terdapat dua teori hukum asli Indonesia yang mempengaruhi perkembangan kajian dan praktik hukum di Indonesia, baik pada pemikiran, pembuatan, penerapan, maupun pada penegakannya. Dua teori itu yaitu Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Pembangunan diutarakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, pakar hukum internasional dan juga mantan Menteri Kehakiman yang memasukkan teori tersebut sebagai materi hukum dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1970-1975). Pandangan Mochtar intinya mengenai fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional. Menurut Mochtar, semua masyarakat yang sedang membangun selalu ...

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus ...